Selasa, 29 Mei 2012

BATIK SEBAGAI SIMBOL STATUS SOSIAL DI KRATON YOGYAKARTA MASA HAMENGKU BUWANA VIII

BATIK SEBAGAI SIMBOL STATUS SOSIAL DI KRATON YOGYAKARTA MASA HAMENGKU BUWANA VIII ABSTRAK Batik dalam tinjauan historis khususnya di Kraton Yogyakarta dengan syarat dan makna sosial maupun religi-adati mampu menunjukkan nilai-nilai kebesaran, keseragaman dan pengaruh terhadap masyarakat pendukungnya sebagai suatu produk budaya, dalam kehidupan seni budaya, Kraton Yogyakarta selain dipandang memiliki kewenangan dalam kepentingan politik juga memiliki kewenangan dalam mengemban misi kebudayaan, hal ini tampak dalam salah satu produk budayanya yakni seni batik di daerah Yogyakarta, yang merupakan manifestasi budaya Kraton baik dari aspek bentuk motif, fungsi, dan makna simbolisnya yang dipercaya dan diyakini mempu memberikan harapan baik bagi para pemakainya, yang kesemuanya terangkum dalam kehidupan falsafah masyarakat Jawa. Batik di dalam istana telah menjadi busana untuk kepentingan upacara, baik upacara garebeg, upacara daur hidup, menyambut tamu agung, maupun untuk busana tari. Sedang di luar Kraton batik memiliki fungsi lebih beragam dan lebih kompleks salah satunya adalah untuk kepentingan ekonomi baik pribadi maupun perusahaan yang menghasilkan beberapa produk batik. Karakter kebudayaan Kraton yang menjunjung tinggi nilai falsafah dan aristokrat Jawa, nilai pakai seseorang atau pejabat ditentukan oleh keseragaman (ketentuan yang dibuat pihak Kraton) dan nilai-nilai spiritual para pemakainya, dalam artian pakaian bisa digunakan sebagai media untuk penghambaan diri kepada Tuhan, memohon keselamatan dan memiliki fungsi sosial sebagai sarana kontrol sosial yang terwujud dalam kebersamaan. Dibalik motif batik tersirat banyak makna yang diwujudkan dalam bentuk bentuk bahasa simbol yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan raja (Kraton) sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Melalui pengkultusan terhadap raja dan bengsawan serta simbol kebesaran Kraton menujukkan status sosial yang membedakan kedudukan mereka atas para kawla alit. Batik istana dalam kehadirannya sebagai produk seni Kraton merupakan salah satu alat legitimasi kelompok birokrat kerajaan atas golongan yang lebih rendah dengan menciptakan pengkultusan atas suatu produk budaya tersebut sehingga menduduki derajat “eksklusif” dalam wujud kebesaran dan keseragaman Kraton Yogyakarta. DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN iii HALAMAN PENGESAHAN iv KATA PENGANTAR vii ABSTRAK ix DAFTAR ISI x DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiv BAB I : PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Batasan Masalah 8 C. Rumusan Masalah 8 D. Tujuan Penelitian 9 E. Manfaat Penelitian 9 F. Metode Penelitian 10 G. Sistematika Penelitian 14 BAB II : “BATIK” SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA 15 A. Definisi Batik 15 B. Sejarah Batik Yogyakarta 17 C. Fungsi Batik Masa Hemengku Buwana VIII 25 BAB III : KRATON YOGYAKARTA MASA HAMENGKU BUWANA VIII 33 A. Sejarah Kraton Yogyakarta 33 B. Aspek Sosio-Kultural 35 C. Aspek Politik dan Ekonomi 39 D. Batik Sebagai Simbol Status Sosial 46 BAB IV : SIMBOLISME BATIK 56 A. Simbolisme Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa 56 B. Batik Dalam Dimensi Sakral 61 C. Simbolisme dan Makna Batik Kraton 69 BAB V : SIMPULAN DAN SARAN 80 A. Simpulan 80 B. Saran 81 DAFTAR PUSTAKA 82 LAMPIRAN 86 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Istilah nilai pakai pada pakaian yang tidak baik dan yang baik 28 Tabel 2. Nama pejabat kraton dan motif batik yang dipakai (status sosial) 49 Tabel 3. Penggunaan pakaian berdasarkan jabatan, dan kesempatan (waktu) 52 Tabel 4. sistem waktu dalam ruang kosmos 64 Tabel 5. kesesuaian ornamen pada batik semen rama dengan ajaran asthabrata 78 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Motif tumpal pada nekara perunggu pada zaman praejarah yang terdapat di Periangan 22 Gambar 2 Motif tumpal candi Naga di Blitar pada masa Hindu-Budha 22 Gambar 3 Motif pilin berganda pada sebuah lonceng perunggu yang tua di Solo-Jawa Tengah 23 Gambar 4 Motif meander pada nekara perunggu masa prasejarah dari Gunung api di Bima 23 Gambar 5 Motif pinggir awan pada sebuah Yoni pada zaman Hindu-Jawa di Kraksaan-Probolinggo 23 Gambar 6 Motif pilin tegar (sulur) pada candi Kalasan-Yogyakarta 23 Gambar 7 Ragam hias lidah api pada arca Kertanegara di Blitar 24 Gambar 8 Hiasan lidah api pada trisula Wisnu di Blitar 24 Gambar 9 Hiasan lidah api pada cakra pada arca Harihara di Surakarta 24 Gambar 10 hiasan lidah api pada patung perunggu Uma/ Parwati di Surakarta 24 Gambar 11 cahaya gemilang pada sebuah arca Siwa Mahadewa 24 Gambar 12 Warna kosmogoni dalam kepercayaan kejawen 63 Gambar 13 Sedulur papat lima pancer 63 Gambar 14 Nafsu dan persifatan manusia 64 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, tahun 1927 86 Lampiran 2 Ejaan (baca) Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1927 110 Lampiran 3 Motif-motif batik dan Foto Hamengku Buwana VIII 121 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan suatu bentuk ekspresi yang muncul dari dalam diri sendiri dan masyarakat pendukungnya baik yang disengaja ataupun tidak disengaja yang bersifat sakral (suci) ataupun profan (duniawi) yang terkandung nilai-nilai luhur di dalamnya. Suatu hasil karya seni budaya sendiri dapat dipahami melalui keakraban terhadap tata nilai yang terkandung di dalamnya. Batik sendiri merupakan bagian dari warisan budaya (cultural heritage) Indonesia asli yang dalam hal ini akan menjadi bahasan dan kajian secara lebih mendalam dalam karya tulis ini dan lebih difokuskan pada batik di wilayah Kraton Yogyakarta. Batik sendiri diposisikan sebagai bagian dari kajian cultural heritage atas dasar dua hal , yang pertama adanya suatu kolektivitas yang lebih luas yakni “masyarakat” yang memiliki warisan tersebut sebagai pewaris produk budaya tersebut secara kebendaan, dalam hal ini batik sebagai ciri khas budaya Indonesia. Kedua, terdapatnya nilai-nilai yang bersifat abstrak dalam warisan tersebut seperti nilai filosofi, pandangan hidup, kearifan lokal, dan sebagainya. .Gaya batik di wilayah-wilayah penghasil batik yang berbeda mencerminkan suatu tradisi dekoratif yang telah lama ada, melukiskan lingkungan asli para pembuatnya dan membayangkan pengatahuan yang dalam yang mereka miliki . Batik merupakan salah satu jenis hasil kerajinan bangsa Indonesia yang memiliki seni budaya yang tinggi dan luhur. motif batik tradisional yang indah adalah karya seni yang dalam pembuatannya dikaitkan dengan pandangan hidup dan tradisi yang ada dalam masyarakat. Pusat pembatikan batik pesisir tersebar di berbagai di pantai utara pulau Jawa terdapat di berbagai tempat yang merupakan manifestasi perwujudan jati diri tiap daerah dan memiliki kekhasan tersendiri diantaranya sidoharjo, madura, Tuban, Lasem, Pekalongan dan Cirebon Mulai di Edit yaaaa?. Batik Yogyakarta yang merupakan suatu hasil karya seni budaya bangsa yang erat dengan kehidupan Kraton Yogyakarta memiliki makna-makna sosial bahkan transenden (Proses penghambaan diri kepada Tuhan dalam wujud pengabdian/ ibadah dengan nilai-nilai suci di dalamnya) yang terus berkesinambungan dengan nilai-nilai historis (pengaruh kebudayaan Jawa, Hindu-Budha, dan Islam) dan makna-makna simbolis yang tersirat dibalik motif yang dapat dipahami melalui keakraban terhadap seni batik itu sendiri. Batik sesuai dengan kondisi dan jiwa zamannya memiliki eksistensi dan fungsi yang berbeda pula bagi masyarakat sebagai busana dalam bentuknya yang disesuaikan dengan kegunaannya seperti untuk pakaian sehari-hari, busana keprabon (busana kebesaran), pakaian upacara daur hidup, dan untuk pasowanan (pertemuan), baik sebagai pakaian pria maupun wanita yang berbentuk bebet/ tapih (kain panjang yang dikenakan untuk kaum pria dan wanita), kampuh/ dodot (kain batik dalam ukuran besar yang digunakan untuk pakaian kebesaran), semekan/ kemben (kain batik yang berfungsi sebagai penutup dada wanita), selendhang (kain batik yang digunakan wanita sebagai kain hias dibagian bahu), destar/ iket atau udeng (kain batik yang digunakan untuk ikat kepala), dan sarung . Realitas budaya masyarakat Yogyakarta menunjukkan bahwa batik merupakan bagian dari gambaran kepercayaan masyarakat, yang mana alam pikir dan filsafat Jawa yang mendapat pengruh kebudayaan Hindu-Budha bercampur dengan Islam yang dalam ranah historisnya memegang peranan penting dalam mewujudkan dan mengkonkretkan nilai-nilai seni budaya. Pengaruh Hindu-Budha menunjukkan peranan India sangat sentral dalam beberapa aspek dan unsur budaya terutama dalam hal agama, kesenian, sastra dan politik. Apa yang mereka yakini pada masa pre-histori terus berjalan dengan mendapatkan pengaruh dari India berupa kepercayaan dan kebudayaan Hindu-Budha. Akulturatif mewarnai alam pikir dan kepercayaan masyarakat yang nantinya menumbuhkan sikap-sikap toleransi dan kreatif pada beberapa unsur budaya yang ada, sedang pada masa pengaruh Islam menguat di Nusantara khususnya di Jawa, batik sebagai salah satu produk budaya yang sudah ada pada zaman sebelumnya terus eksis dengan syarat dan makna religi yang mewakili alam pikiran manusia. Munculnya paham kejawen sebagai cara pandang orang Jawa ternyata tidak pernah lepas dari pengaruh budaya lokal dan pengaruh dari luar serta kecerdasan lokal (local genious) atau yang biasa disebut dengan Cultural Identity yang mampu menunjukkan kemampuan dalam mengadopsi dan mengasimilasi dalam wujudnya budaya sinkretik sehingga menghasilkan budaya baru yang unik yang berbeda dengan budaya aslinya. Kepercayaan asli (religi Jawa) yang mendapatkan pengaruh Hindu-Budha dan Islam memperkuat dan memperkaya eksistensi simbolisme dalam budaya masyarakat Jawa. Kain yang memiliki makna simbolik tertentu memiliki nilai-nilai yang mampu menunjukkan status sosial dan kebudayaan, mampu menghubungkan tubuh dengan dunia sosial dan ekspresi dari identitas seseorang (status sosial, kekuatan, wibawa) dengan kata lain batik dengan landasan historisnya tidak hanya merupakan trend, melainkan bisa diartikan sebagai identitas dan kepentingan dalam mewujudkan kekuasaan seseorang atau kelompok, yang salah satu fungsinya adalah sebagai pembeda kelas dan memberikan kemudahan dalam analisis kejahatan. Kraton Yogyakarta maupun kelompok-kelompok kepentingan dalam konteks kesejarahan telah menggunakan aturan-aturan tersendiri dalam berpakaian untuk menciptakan penampilan yang kuat dalam kehidupan sosial. “kekuasaan memerlukan seperangkat pakaian yang berwibawa” . Dalam hal ini Chris Bayly dan Bernard Cohn sebagaimana diungkapdan Nordholt mendeskripsikan bahwa kain dapat mengidikasikan status sesorang, menunjukkan kekuasaan dan mengalihkan kekuasaan tersebut pada orang lain. Kraton Yogyakarta yang menjadi bagian dari kajian utama selanjutnya, pada tahun 1792 dan 1798 arsip-arsip Kraton mengeluarkan peraturan-peraturan selanjutnya atas pola-pola yang membuat corak-corak seperti Sawat, Lar, Parang Rusak, Cemukiran, dan Udan Liris sebagai bahan dari pola atau corak batik yang sifatnya eksklusif atau “corak larangan” yang hanya boleh dipakai golongan tertentu. Namun dalam perkembangannya lambat laun nilai-nilai eksklusif batik kembali luntur karena kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi, terlebih dengan ikut campurnya pemerintah Hindia Belanda dalam menentukan kebijakan Kraton masa itu. Perubahan fungsi batik terjadi juga baik di dalam maupun diluar Kraton Yogyakarta karena tuntutan zaman. Pakaian dalam kajian seni budaya dapat diwujudkan sebagai proses diskriminasi dan hegemoni terhadap kelompok tertentu yang diwujudkan dalam keseragaman dan keselarasan ditunjukkan melalui simbol-simbol dengan penuh wibawa dan kharismatik, dapat dipahami bahwa pakaian dan penampilan seseorang merupakan identitas, bahasa tubuh dan karakter yang saling terkait. Batik sebagai identitas diri, di Kraton Yogyakarta dijadikan indikator yang menunjukkan status sosial, dan juga mampu menghubungkan kehidupan mikro (tubuh si pemakai) dengan alam kehidupan makro (dalam dimensi sosio-natural) dan performan (tampilan) dari identitas seseorang (wibawa), dengan kata lain batik dengan landasan historis mampu menunjukkan identitas dan kepentingan dalam mewujudkan kekuasaan pribadi atau kelompok. Nilai sakral yang terkandung di dalam batik menunjukkan bahwa pakaian dan upacara-upacara berpakaian memainkan peranan penting karena penampilan kerajaan bukan hanya pameran kekuasaan, melainkan juga wakil kedewaan dan perwujudan kesempurnaan. Kraton Yogyakarta yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang berkepentingan telah menggunakan aturan-aturan tersendiri dalam berpakaian untuk menciptakan kontrol sosial dan penampilan yang kuat dalam dimensi sosio-kultural sebagai sebuah proses penyeragaman dengan menampilkan kharisma kebesaran budaya Kraton dalam sistem feodalisme yang masih sangat kuat tertanam dalam kehidupan budaya Kraton Yogyakarta. Seperti apa yang terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, karena kemajuan dunia perbatikan dan kemajuan teknologi lahirlah undang-undang tentang penggunaan busana keparabon yang disebut dengan Pranatan Dalem Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1927 yang berisi tentang aturan penggunaan busana keprabon dan larangan terhadap penggunaan motif-motif batik tradisional tertentu Kondisi politik Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII mengalami sebuah penurunan legalitas dan eksistensi Kraton sebagai penguasa politik cenderung diatur pemerintahan Hindia Belanda yang ikut campur dalam penentuan kebijakan yang sifatnya menekan dan merugikan pihak Kraton. Hal ini yang menyebabkan eksistensi dan peranan pihak Kraton sebagai pengemban misi politik kesultanan diarahkan pada Kraton sebagai pengemban misi kebudayaan untuk tetap menjaga eksistensi dan legalitas Kraton. Para pembatik menghasilkan rancangan batik melalui proses pengandapan diri, meditasi untuk mendapatkan bisikan hati nuraninya, yang kemudian diibaratkan mendapatkan wahyu . Hal religiusitas berperan besar dalam pembentukan nilai-nilai sakarl suatu karya seni. Dalam hal inilah keterkaitan gagasan, ide atau pengetahuan kognitif manusia tidak terlepas dari kondisi lingkungan atau pengetahuan individu lain yang saling mengadakan interaksi dan komunikasi satu sama lain dalam bentuk pengalaman dalam sebuah sistem atau yang biasa disebut dengan “sistem budaya” (cultural system) . Batik dalam lingkup Kraton Yogyakarta dalam konteks kesejarahan dan kekinian yang masih cenderung pada kehidupan feodalistis menyiratkan sebuah pernyataan yang kuat tentang kelas, status bahkan gender. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam penampilan tubuh menawarkan petunjuk-petunjuk transformasi sosial . Disamping itu bahan dan motif (ragam hias) yang digunakan untuk membuat batik/ kain juga menentukan status sosial di dalam lingkup Kraton. Makna simbolisme tidak lepas dari kehidupan alam filsafat Jawa yang begitu kental dengan kehidupan spiritual (pengaruh paham Hindu, Budha dan Islam) dan kondisi alam sekitar. Kain-kain itu sendiri dipercaya memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan, melindungi dan menjamin kesuburan . Kain dipertukarkan dalam setiap titik siklus kehidupan, diperlihatkan sebagai simbol-simbol kekayaan juga digunakan sebagai uang tunai (barter) dan simpanan , dari sini nampak jelas batik memiliki kedudukan dan pengaruh yang luas dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya Kraton Yogyakarta. Batik dengan syarat historis dan simbolis sebagai suatu hasil karya seni budaya di dalam lingkup Kraton yang terus berkesinambungan dengan makna-makna sosial dan transendental merupakan sesuatu yang terstruktur/ teratur dalam penggunaannya yang sekligus menampakkan status sosial para pemakainya dan hal ini menjadikan ketertarikan tersendiri untuk dipahami dan diteliti lebih lanjut sebagai salah satu khasanah budaya bangsa yang memiliki nilai luhur di dalamnya, oleh karena itu peneliti memilih judul Batik Sebagai Simbol Status Sosial di Kraton Yogyakarta Masa Hamngku Buwana VIII yang selanjutnya menjadi pembahasan lebih mendalam dalam karya tulis ini. B. Batasan Masalah Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, penelitian ini lebih difokuskan pada “Batik Sebagai Simbol Status Sosial di Kraton Yogyakarta Masa Hemengku Buwana VIII”. Karena pada masa itu terjadi banyak fenomena politik, ekonomi, dan sosial budaya yang melatarbelakangi dan mempengaruhi kebijakan atau putusan yang dikeluarkan Kraton Yogyakarta, sehingga eksistensi batik banyak mengalami aspek perubahan antara tahun 1921-1940. C. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas dapat ditarik rumusan masalah guna mempermudah dalam analisis kajian seni budaya berupa : 1. Mengapa pihak Kraton (masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII) mengeluarkan kebijakan atas pembatasan pemakaian batik ? 2. Bagaimana kedudukan dan pengaruh batik dalam kehidupan sosial-budaya di wilayah Kraton Yogyakarta ? D. Tujuan Penelitian Penelitian dengan judul “Batik Sebagai Simbol Status Sosial di Kraton Yogyakarta Masa Hemengku Buwana VIII” ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui keterkaitan antara batik dengan kekuasaan dan kebijakan yang dikeluarkan Kraton Yogyakarta dalam kaitannya dengan kehidupan feodalisme Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Hemengku Buwana VIII. Dan latar belakang pihak Kraton mengeluarkan peraturan pembatasan pemakaian batik. 2. Untuk mengetahui kedudukan dan pengaruh batik di wilayah Kraton Yogyakarta dalam lingkup sosial budaya pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII. E. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan dapat diambil beberapa manfaat diantaranya 1. Agar memahami keterkaitan antara batik dengan kekuasaan dan kebijakan yang dikeluarkan Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Hemengku Buwana VIII. Dan latar belakang pihak Kraton mengeluarkan peraturan pembatasan pemakaian batik. 2. Agar memahami pengaruh dan kedudukan batik di wilayah Kraton Yogyakarta dalam lingkup sosial budaya pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII. F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk menerapkan atau menggunakan piranti dengan apa yang disebut “metode penelitian sejarah” untuk menyusun suatu karya tulis ilmiah yang dipandang memasuki ranah kesejarahan yang lebih fokus pada sejarah kesenian dan seni budaya (sejarah kebudayaan). Yang dimulai dari tahap heuristik (mencari dan menemukan sumber yang diperlukan), tahap kritik (pengujian terhadap sumber), tahap interpretasi (penafsiran data), dan tahap historiografi (penulisan sejarah) . Pada tahap heuristik, yang dilakukan oleh peneliti untuk merekonstruksi, menggambarkan, menuliskan dan mengisahkan kembali apa yang terjadi pada masa lampau peneliti mencoba melakukan langkah-langkah penelitian yang dimulai dengan mencari dan mengumpulkan sumber dan data yang relevan dari berbagai lokasi, baik dalam bentuk sumber primer, sekunder dan tersier yakni diantaranya adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), perpustakaan pusat Universitas Negeri Surabaya (UNESA), museum dan perpustakaan Mpu Tantular (Sidoarjo), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, museum Sono Budoyo (Yogyakarta), museum batik (Yogyakarta), perpustakaan Widyo Budoyo (Kraton Yogyakarta). Dalam mengumpulkan sumber peneliti mencoba menginventarisasi sumber-sumber yang diperlukan baik dalam bentuk sumber primer, sekunder maupun tersier, diantaranya adalah Manuskrip Pranatan Dalem Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1927 yang juga dimuat dalam Rijksblad Van Djokjakarta Tahun 1927 sebagai sumber primer dalam penulisan karya ilmiah ini, yang berisi tentang aturan penggunaan busana keprabon dan larangan terhadap penggunaan motif-motif batik tradisional tertentu, dan dari itu pula dapat diketahui kedudukan seseorang dalam struktur sosial dan gelar yang disandangnya. Sedang beberapa buku pokok yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam penulisan ini diantaranya adalah Indonesische Siermotieven, Busana Adat Kraton Yogyakarta (1887-1937) makna dan fungsi dalam berbagai upacara, Sejarah Batik Yogyakarta, dan Budaya Nusantara Kajian Konsep Mandala dan Konsep Triloka terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasi, Sejarah Batik Yogyakrta. Dan tentunya masih terdapat beberapa buku lain yang saling melengkapi. Pada tahap kritik, penulis melakukan pengujian terhadap sumber-sumber yang telah diperloleh sebelumnya (baik berupa sumber primer, sekunder maupun tersier) dengan menyeleksi, menilai, memilah-milah dan menguji sumber yang telah diperolehnya sebagai usaha untuk memperoleh data atau sumber yang nilai kredibilitasnya sahih. Langkah selanjutnya yang dilakukan penulis adalah mencari relevansi penulisan seseorang dengan membandingkan penelitian-penelitian yang dilakukan orang lain dengan tetap mengacu pada sumber primer sebagai sumber pokok kajian yang dilakukan dan mencocokkan atau mencari kesamaan dan kesinambungan fakta diantara sumber-sumber yang diperoleh dan dapat digunakan untuk saling melengkapi, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, salah satunya adalah Batik dan Kebudayaan Popular karya Philip Thomas Kitley, meskipun dalam tulisan ini memberikan kejelasan tentang eksistensi batik di Kraton Yogyakarta namun ada beberapa pokok bahasan yang dinilai tidak sesuai dengan sumber sejarah yang lainnya, khususnya mengenai asal-usul batik di Indonesia, dalam paparannya mengindikasikan batik bukan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Manuskrip Pranatan Dalem Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1927 yang akan menjadi bahan acuan utama dalam penulisan karya ilmiah ini tentunya tidak dapat menjelaskan secara konprehensif tentang realitas sejarah yang telah terjadi, untuk itu diperlukan beberapa buku termasuk yang telah tersebut diatas untuk mampu menjelaskan kondisi sosial budaya yang benar-benar terjadi, seperti halnya buku Brandes Ten Point yang menjelaskan beberapa karakteristik budaya masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Dan tentunya begitu pula buku-buku yang lebih memfokuskan pada kajian batik Yogyakarta yang mampu menghidupkan tulisan ini menjadi sejarah deskriptif-naratif, seperti Indonesische Siermotieven, Busana Adat Kraton Yogyakarta (1887-1937) makna dan fungsi dalam berbagai upacara, Sejarah Batik Yogyakarta, dan Budaya Nusantara Kajian Konsep Mandala dan Konsep Triloka terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasik. Pada tahap interpretasi, peneliti menyadari kelemahan dan subyektivitas sumber yang didapat. Dalam hal ini peneliti semaksimal mungkin untuk dapat menyimpulkan dan menafsirkan dari hasil penelitian yang dilakukan dengan meminjam ilmu-ilmu Bantu “ilmu sosial” lainnya yang menunjang topik atau tema yang telah ditentukan sebagai pisau analisis diantaranya ilmu sosial antropologi budaya, ilmu-ilmu kebudayaan dan kesenian untuk menunjang aspek kesejarahan yang ada. Dalam hal ini aspek kesejarahan memasuki ranah sejarah sebagai ilmu yang sifatnya ideografis (menghidupkan pokok kajian) dalam kategori sejarah seni budaya, untuk itu penulis menyadari benar tidak akan pernah lepas dari subyektivitas dalam penulisan sejarah ini, baik subyektivitas yang sifatnya dimensional maupun subyektivitas sosio-kultural atau sosio-ideologis. Sudah barang tentu dalam hal ini pandangan hidup (way of life) sebagai gaya penulisan yang khas dan unik oleh penulis juga sangat mewarnai penafsiran dimana penulis mencoba memahami nilai-nilai budaya Jawa seperti apa yang penulis rasakan sendiri sebagai bagian dari orang Jawa dengan kebudayaan dan religiusitas yang terakumulasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun penulis mencoba septimal mungkin untuk berlaku obyektif dalam menyusun karya ilmiah. Sedang dalam tahap historiografi, penulis mencoba untuk menghubungkan ilmu-ilmu sosial lain yang berkedudukan sebagai ilmu bantu dengan data sejarah yang sudah diperoleh guna menyusun suatu karya tulis ilmiah seobyektif mungkin. Penulis mencoba mengungkapkan keterkaitan atau hubungan suatu jabatan dengan hasil karya seni budaya dalam wujud strata sosial dengan kebijakan-kebijakan politis yang dikeluarkan dan diberlakukan di Yogyakarta sebagai upaya melegalisasi kedudukan, dengan menggunakan konsep-konsep khususnya dengan pendekatan antropologi budaya untuk menghubungkan dua fakta atau lebih dalam sejarah secara keilmuan dan kaidah-kaidahnya. Dalam penulisan ini peneliti berusaha menunjukkan kalayakan tulisan sebagai sebuah karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya sesuai dengan ketentuan dan kaidah keilmuan yang telah ditentukan. G. Sistematika Penulisan Dari penelitian ini diharapakan mampu menjadikan atau mengarah pada proses penulisan karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara kaidah keilmuan dengan berpedoman pada sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I Pendahuluan : Latar Belakang Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. Bab II Batik Sebuah Tinjauan Pustaka : Definisi Batik, Sejarah Batik Yogyakarta, Fugsi Batik pada masa Hamengku Buawana VIII. Bab III Kraton Yogyakarta Masa Hemangku Buawana VIII : Kraton Yogyakarta, Aspek Sosio-Kultural, Aspek Politik dan Ekonomi, Batik Dalam Dimensi Sosio-Kultural, Batik dan Status Sosial. Bab IV Simbolisme Batik : Simbolisme Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa, Batik Dalam Dimensi Sakralitas, Simbolisme Dalam Batik dan Maknanya. Bab V Simpulan dan Saran. BAB II “BATIK” SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Batik Batik sebagai wujud nyata seni rupa dengan latar belakang sejarah dan unsur budaya yang kuat dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia menjadi dasar identitas bangsa hingga saat ini yang menyangkut kebinekaan budaya Indonesia. Perlunya pemahaman tentang batik yang mendalam dan mengarah pada nilai-nilai kebudayaan bangsa untuk mewkili makna yang dikandungnya, maka dari itu penting diketahui batik secara definitif. Kata “batik” sendiri mewakili kesempurnaan dan kompleksitas kata yang menjadikan penafsiran yang beraneka ragam tentang definisi dan sejarah batik di Indonesia sendiri. Menurut Kertcher seperti yang diungkapkan Suyanto , istilah batik berasal dari kata yang berakhiran “tik” berasal dari kata menitik yang berarti menetes, dalam bahasa Jawa karma batik disebut seratan, dan dalam bahasa Jawa ngoko disebut tulis (menulis dengan lilin), jadi definisi ini didasarkan atas aspek operasional atau pembuatan batik itu sendiri melalui alat yang disebut dengan canting. Membatik secara teknis merupakan suatu cara penerapan corak diatas kain melalui proses celup rintang warna dengan malam sebagai medium perintangnya . Definisi ini pun didasarkan atas akhir kata “tik” yang mempunyai makna kehalusan, lembut dan kecil yang mangandung unsur keindahan. Damarjati Supadjar mengartikan batik sendiri berdasarkan kajian linguistik yang memiliki kemiripan kata, batik dapat dipahami sebagai “nulis” atau “nyerat” yang dalam aspek operasionalnya tidak terlepas dari unsur-unsur religi-adati. Prof. Soedarsono mengaitkan kata batik dengan kata “patik” yang artinya merendahkan diri dan kata “matik” yang artinya memasang intan, emas atau berlian yang penuh dengan unsur keindahan dan kedua kata tersebut dianalogikan dengan kata “tik” yang artinya kecil. Beberapa kajian linguistik yang didasarkan atas kemiripan kata “batik” juga dijumpai dalam berbagai daerah di belahan bumi nusantara, diantaranya pada masyarakat Dayak di Kalimantan tedapat kata “pantik” yang artinya satu kali, kata “pabatik” yang artinya bertautan (memberikan lukisan pada tubuh orang), kata “bintik” yang artinya menulis atau menggambar. Pada masyarakat Minahasa terdapat kata “pantik” yang artinya menulis, jadi dapat disimpulkan bahwa membatik sama halnya dengan menulis, menggambar sama dengan menulis, gambar sama dengan huruf dan huruf sama dengan simbol. Ketiadaan standardisasi tentang definisi batik menjadikan setiap peneliti mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan definsi batik. Hemat penulis membatik merupakan sebuah proses pengulangan dengan kerumitan tertentu yang dipandang dari segi religiusitas dituangkan dalam ekspresi jiwa dalam bentuk simbol-simbol yang terlukiskan dengan pengaruh lingkup adati (definisi batik tradisional didasarkan atas aspek operasional). B. Sejarah Batik Yogyakarta Batik adalah konkretisasi atau wujud nyata dari seni rupa dengan latar belakang sejarah dan unsur budaya yang kuat dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia yang menjadi dasar identitas bangsa Indonesia hingga saat ini. Mengenai asal-usul atau sejarah batik di Indonesia dan lebih khusus di Yogyakarta seperti halnya definsi batik yang memasuki ranah kontroversial dari beberapa pakar atau peneliti sebelumnya. Padangan pertama tentang asal-usul batik sebagai pengaruh dari luar, dalam artian bukan kebudaan asli dan tokoh salah satu tokoh yang berpandangan seperti ini adalah G.P. Rouffaer yang menganggap bahwa batik Jawa berasal dari luar yang dibawa pertama kali oleh orang Kalinga dan Koromandel , sedang pandangan yang kedua menganggap batik memiliki akar sejarah yang kuat dalam perjalanan kebudayaan Indonesia asli, dengan maksud bahwa batik merupakan asli sebagai produk budaya bangsa Indonesia dan merupakan bagian dari Culture heritage. Dari beberapa data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa adanya kesinambungan kepercayaan dan budaya masyarakat pra-sejarah, masyarakat masa Hindu-Budha, masyarakat Islam hingga saat ini khususnya masyarakat Jawa (Yogyakarta) terhadap eksistensi batik sebagai budaya asli Indonesia. Dr. J. Brandes dalam teorinya meyatakan bahwa batik berasal dari zaman yang sama dengan gamelan, wayang, syair, barang-barang dari logam, pelayaran, ilmu falak dan pertanian , dengan kata lain batik adalah salah satu unsur budaya Indonesia yang sudah ada di Indonesia sebelum datangnya pengaruh Hindu, seperti apa yang diungkapkan Dr. F.D.K. Bosch dalam suatu hipotesanya : Dalam Gambarannya tentang seni Jawa Hindu, Dr. Brandes telah berulang-ulang memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang khas pada gaya dan ornamennya, dimana dapat ditemukan persamaan-persamaan bangunan-bangunan dan cara-cara antara yang bercorak Jawa dengan Hindu, sarjana-sarjana lainnya telah dapat menemukan beberapa hal yang coraknya sama dan menambahkannya dengan beberapa contoh yang mirip, akan tetapi, bagaimanapun penting penemuan-penemuan itu pada dasarnya, mereka tidak dapat menemukan jalan ke sumber dari seni Jawa Kuno yang terdapat di India . Zaman kebudayaan neolitikum dan kebudayaan perunggu merupakan dasar kebudayaan Indoenesia yang kemudian pada abad sesudah masehi “kesenian” Indonesia memperoleh perkembangan dan pengaruh dari unsur-unsur Hindu dari India yang pada zaman Majapahit kesenian “ragam hias” mencapai puncaknya, yang oleh Dr. W.F Stutterheim disebut “patran/ patriasi”. Dalam perjalanannya pengaruh Islam membawa kebudayaan baru yang diakulturasikan dengan kebudayaan setempat maka terjadilah “kontak” antara seni Islam dan seni lokal yang ditunjang oleh tradisi Islam . Masyarakat pre-histori dalam keyakinan religinya, mereka percaya bahwa manusia adalah bagian organis dari tataran makrokosmos dan harus sesuai dengan tingkah lakunya sebagai bagian dari mikrokosmos yang pada ujungnya menumbuhkan perasaan takut, hormat dan kagum terhadap kekuatan alam, dan manusia mencoba untuk mengekspresikannya dalam bentuk pemujaan, gambar atau simbol-simbol, karena gambar atau simbol dalam tatanan masyarakat yang sederhana sama halnya dengan huruf/ menulis. Dalam kebudayaan perunggu atau Dong-Son niat menghias semakin tampil kemuka. Tepi dan bidang barang-barang dihiasi. Tetapi justru untuk perhiasan ini lambang-lambang sering digunakan lagi. Sebagai ragam-ragam perhiasan banyak kita lihat di pakai pilin bentuk S atau pilin berganda, swastika dan meander. Tetapi justru ragam-ragam perhiasan inilah yang jadi lambang peredaran alam, dan jelasnya peredaran matahari, hal mana berhubungan dengan pemujaan matahari dari zaman itu, juga ragam-ragam ini banyak terdapat kembali dalam kesenian sekarang . Ekskavasi yang dilakukan di gunung Wingko Yogyakarta Selatan, berhasil ditemukan kreweng berhiaskan meander, anyaman bambu geometris, hiasan pada perunggu dan pakaian dari kulit kayu atau dari tenunan yang nantinya sebagai cikal bakal motif batik masa sejarah yang tidak jauh berbeda dengan motif hiasan batik yang termasuk tua dan dari pada itu tidak memungkinkan juga terdapat pewarnaan secara alami dan terpadu pada masa itu walaupun masih dalam taraf sederhana. Damardjati Supadjar dalam interpretasinya dia membuktikan pada masa kerajaan Tarumanegara telah dikembangkan batik dengan motif cinde yang kemudian dalam perjalanannya menjadi motif nitik (jlamprang, limaran, jaya kusuma, nagasari) di kerajaan Tarumanegara penuh dengan tanaman yang menjadi bahan baku yakni pohon Tarum disekitar sungai Citarum abad 4 M, yaitu ketika batik baru berupa celupan pada kain yang kemudian berkembang pada masa raja Sima di Keling (kain seratan) abad 8 M, dan pengaruh tersebut terus berkembang hingga periodisasi Hindu-Budha berakhir dengan kuatnya pengaruh Islam. Beberapa peninggalan masa Hindu-Budha dalam bentuk arca yang dapat menunjukkan eksistensi batik pada masa itu antara lain : Dasar motif lereng Terdapat sebagai motif dari pakaian pada patung dewa Siwa (dari emas) terdapat dari daerah Gemuruh, Wonosobo, dekat Dieng (candi Dieng, abad 9). Dasar motif ceplok Dasar motif ceplok dari yang sederhana sampai yang bervariasi, terdapat gambaran pada : a. Pakaian patung Ganesha dari candi Banon, dekat Borobudur (komplek candi Borobudur abad 9). Motif ini sebagai dasar motif ceplok. b. Patung Siwa dari Singasari (abad 13), ornamen pokok bundaran-bundaran seperti gambar bunga c. Patung Durga dari Singasari, berbentuk lingkaran-lingkaran yang diberi isen. d. Patung Brahma dari Singasari, berbentuk lingkaran-lingkaran yang diberi isen dan hiasan segi empat disusun berselang-seling. e. Patung Pradjnya paramita dari Malang (± 1350 AD), berbentuk lingkaran-lingkaran yang tersusun dan diberi isen sehingga merupakan motif ceplok yang indah. Motif Sidomukti Gambaran motif sidomukti terdapat pada : a. Patung Ganesha dari Singasari (abad 13), bentuk motif ini dihiasi dengan bentuk garuda sederhana dan tengkorak b. Patung Durga terdapat pada candi Singasari, pada kain tapih digambarkan motif kotak-kotak segi empat. Motif Semen Gambaran motif semen (meru, pohon hayat, tumbuhan, mega, dan candi) terdapat pada : a. Dinding makam Sendang Duwur-Bojonegoro (1585 AD) b. Dinding dari masjid tua pada kompleks makam Ratu Kalinyamat di Mantingan-Jepara (1559 AD) c. Dinding yang lain dari Masjid Tua pada kompleks makam Ratu Kalinyamat di Mantingan-Jepara (1559 AD) Pemakaian isen-isen cecek-sawut Pemakaian cecek-sawut, yaitu gabungan antara deretan titik-titik dengan garis-garis sejajar, digambarkan dengan jelas, pada hiasan dari genderang-perunggu, ditemukan di Sangeang, gunung api dekat Bima. Barang ini dari zaman erunggu, isen motif berupa cecek-sawut ini tidak terdapat pada batik Indonesia. Motif liris atau lereng Bentuk dasar dari motif liris atau lereng, yang lebih bervariasi terdapat pada gambaran pakaian Manjusri, berasal dari Ngemplak, Semongan dekat Semarang. Patung ini berasal dari permulaan abad 10. Pemkaian titik-titik dalam motif Motif yang menggunakan titik-titik, bentuk titik masih besar-besar, digambarkan pada pakaian Padmapani, dari zaman kebudayaan periode Jawa Tengah abad 8-10. Titik-titik banyak digunakan pada pengisian motif batik, berupa deretan titik-titik atau kumpulan titik-titik. Dasar motif kawung Dasar motif kawung dari yang sederhana sampai yang bervariasi dengan bentuk-bentuk isen, terdapat gambaran pada : a. Patung Hari-Hara dari Blitar, kawung digambarkan bentuk sedang dengan isen b. Patung Parwati dari Jawa, digambarkan kawung sederhana bentuk kecil c. Patung Siwa dari Singasari (abad 13) terdapat motif kawung dengan isen diantaranya, sehingga hampir menyerupai motif ceplok d. Patung Budha Mahadewa dari Tumpang dan Bharkuti dari candi Jago Jawa Timur, dijumpai motif kawung bantuk kurus dan dengan isen, sehingga sepintas lalu motif ini seperti motif ceplok Disamping itu masih banyak lagi peninggalan-peninggalan masa sebelumnya yang mampu menunjukkan kesinambungan budaya Hindu-Budha dengan eksistensi batik itu sendiri, diantaranya adalah : a. Motif tumpal pada nekara perunggu pada zaman praejarah yang terdapat di Periangan (Gb. 1) dan tumpal pada candi Naga di Blitar pada masa Hindu-Budha (Gb. 2) . b. Motif pilin berganda pada sebuah lonceng perunggu yang tua di Solo-Jawa Tengah (Gb. 3) . c. Motif meander pada nekara perunggu masa prasejarah dari Gunung api di Bima(Gb. 4) motif pinggir awan pada sebuah Yoni pada zaman Hindu-Jawa di Kraksaan-Probolinggo (Gb. 5) dan motif pilin tegar (sulur) pada candi Kalasan-Yogyakarta (Gb. 6) . d. Ragam hias lidah api pada arca Kertanegara di Blitar (Gb. 7), hiasan lidah api pada trisula Wisnu di Blitar (Gb. 8), hiasan lidah api pada cakra pada arca Harihara di Surakarta (Gb. 9), hiasan lidah api pada patung perunggu Uma/ Parwati di Surakarta (Gb. 10), dan cahaya gemilang pada sebuah arca Siwa Mahadewa (Gb. 11) . Pada masa pengaruh Islam menguat di Nusantara, khususnya di Jawa batik penuh dengan syarat dan makna religi mewakili alam pikiran manusia dengan pengaruh tiga elemen penting dalam kepercayaan yakni kepercayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam yang terakumulasikan pada keyakinan “kawula gusti” yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman sebagai dasar ajaran yang juga tercampur dengan unsur-unsur budaya yang telah ada. Dalam kehidupan seni budaya masyarakat Yogyakarta, Kraton Yogyakarta selain dipandang memiliki kewenangan dalam kepentingan politik juga memiliki kewenangan dalam mengemban misi kebudayaan, hal ini tampak dalam salah satu produk budayanya yakni seni batik di daerah Yogyakarta, yang merupakan manifestasi budaya Kraton baik dari aspek bentuk motif, fungsi, dan makna simbolisnya . Sejarah perkembangan batik Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dengan batik tradisional Kraton Yogyakarta sebagai akar budayanya. Sebelum terjadi peristiwa perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana kerajaan Mataram pecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta di bawah kekuasaan Sunan Paku Buwana III dan Kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hemangku Buwana I, batik telah menjadi busana untuk kepentingan upacara, baik upacara garebeg, upacara daur hidup, menyambut tamu agung, maupun untuk busana tari . C. Fungsi Batik Masa Hamengku Buwana VIII Tradisi Kraton menunjukkan budaya pemakaian batik berlangsung secara terus-menerus dari berbagai generasi pewaris tahta kerajaan sebagai salah satu simbol kebesaran Kraton. Secara fungsional batik Kraton digunakan sebagai busana tradisional bagi bangsawan Kraton baik dalam busana keseharian maupun busana dalam acara-acara resmi. Batik secara fungsional dibedakan menjadi dua yakni busana sehari-hari (tidak resmi) dan busana resmi yang memiliki beberapa bentuk dan disesuaikan dengan fungsinya, diantaranya adalah bebet atau tapih, kampuh atau dodot, semekan atau kemben, selendhang, destar atau udeng dan sarung. Batik di luar Kraton memiliki fungsi lebih beragam dan lebih kompleks salah satunya adalah untuk kepentingan ekonomi baik pribadi maupun perusahaan yang menghasilkan beberapa produk batik. Di luar Kraton perusahaan-perusahaan batik semakin ramai, kemudian meluas sampai ke beberapa daerah-daerah. Profesi pengusaha dan pedagang batik pribumi sebagian besar dipegang oleh wanita yang biasa disebut dengan juragan batik, sedang perusahaan-perusahaan batik mengerjakan produknya dengan cap-capan . Bebet atau tapih merupakan kain berbentuk empat persegi panjang yang dililitkan mengelilingi pinggang. Bebet merupakan istilah kian panjang yang dikenakan utuk pria yang biasanya dikenakan dengan lipatan kain besar-besar dan dililitkan dari kanan ke kiri sedangkan tapih adalah istilah kain panjang yang dipakai oleh kaum perempuan dan pemakaiannya dililitkan badan dari kiri ke kanan dan kadang-kadang ditambahi lipatan (wiru) tipis di bagian depannya . Kampuh atau dodot merupakan kain dengan ukuran besar yang dikenakan sebagai hak istimewa keluarga kerajaan, hanya dipakai oleh sultan, pengantin pria atau wanita, penari Kraton dan mutunya tak tertandingi yang dibuat dengan cara menjahit dua lembar kain batik secara bersamaan , dalam hal ini ada dua jenis dodot yaitu dodot blengen (balenggen) yang salah satu ujunngnya dibalenggi atau diurai sepanjang 20 cm sehingga membentuk rumbai-rumbai yang kemudian saling diikat dengan model tertentu dan dodot lugas (biasa) yang pada ujungnya djahit biasa . Semekan atau kemben adalah kain batik yang berfungsi sebagai penutup dada wanita dengan kain yang tipis dan dililitkan mengelilingi bagian atas badan dan sering kali digunakan bersama kebaya atau bagian bawah . Selendang merupakan kain panjang tipis yang dipakai untuk keperluan khusus oleh wanita yang digunakan pada bahu dan dapat pula digunakan untuk menggendong bayi atau membawa keperluan ke pasar dan adakalanya selendang juga digunakan untuk menutup dada, namun ada motif khusus untuk selendang yaitu tengahan blumbangan dan tengahan sidangan, dengan motif cemukiran dan dengan pengadha dan tumpal pada ujungnya . Destar atau udeng kain batik yang dipakai untuk ikat kepala dan hanya dipakai oleh kaum pria. Jenis udeng ini ada dua yakni udeng lembaran, dibentuk pada saat dipakai langsung pada kepala dan jika telah selesai kemudian dilepas lagi dan udeng jadi, merupakan udeng yang sudah jadi yang sudah dibentuk dan tinggal memakai. Sarung adalah kain batik yang kedua ujungnya dijahit sehingga berbentuk menyerupai tabung yang tidak berujung yang dikenakan secara melingkar di badan bagian bawah dengan dikecangkan pada bagian pinggang . Tradisi Jawa sangat menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai etis dan estetis dalam berpakaian “Ajining Diri Saka Lati, Ajining Raga Saka Busana” (kehormatan diri terletak pada kata-kata, kehormatan raga terletak pada pakaian). Pemakaian busana menurut tradisi Jawa itu sendiri memiliki nilai-nilai profan (terkait dengan kehidupan dunia sehari-hari), keseragaman dan kebersamaan (terkait dengan kontrol sosial dan legitimasi Kraton) dan yang sifatnya sakral (terkait dengan kehidupan spiritual tertentu), tradisi Jawa mengenal beberapa istilah terhadap nilai-nilai pakai orang yang berpakaian terutama yang biasa digunakan oleh masyarakat umum dalam konteks kehidupan keseharian, yakni : Tabel 1. (istilah nilai pakai pada pakaian yang tidak baik dan yang baik) Wagu Janggal atau kaku Wadag Tidak halus/ berbentuk kasar Saru Tidak sopan Ndesani Seperti oarang desa Deksuro Tidak tahu diri, mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan martabatya Mbranyak Pemakaian warna-warna terlampau banyak atau berlebihan Coreng Pemakaian warna-warna cerah Marong Menyolok, kontras Cebleh Menggunkan sesuatu pakaian yang memberikan kesan pucat atau tidak berseri Sembada Berimbang ke detail-detailnya Jinem Mempunyai kesan sopan Luwes Mencerminkan kehalusan Demes Jelita dan lemah gemulai Prasaja Sederhana Lugu Tidak banyak bertingkah, apa adanya Mriyayeni Mencerminkan kepriyayian Mutreni Seperti seorang putri Mraboni Seperti bangsawan atau permaisuri Karakter kebudayaan Kraton yang menjunjung tinggi nilai falsafah dan aristokrat Jawa, nilai pakai seseorang atau pejabat ditentukan oleh keseragaman (ketentuan yang dibuat pihak Kraton) dan nilai-nilai spiritual para pemakainya, dalam artian pakaian bisa digunakan sebagai media untuk penghambaan diri kepada Tuhan, memohon keselamatan dan memiliki fungsi sosial sebagai sarana kontrol sosial yang terwujud dalam kebersamaan. Batik pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII telah menjadi busana untuk kepentingan upacara yakni Pasowanan, upacara garebeg, upacara daur hidup, menyambut tamu agung, maupun untuk busana tari. Dalam acara Pasowanan para abdi dalem dianjurkan memakai baju Pranakan, dengan mengenakan bebet sesuai pangkatnya (pangkat jajar mengenakan bebet motif bango tulak) . Dalam upacara garebeg (berasal dari kata hanggarebeg yang memiliki makna mengiring raja, pembesar atau pengantin) Sultan yang berkedudukan sebagai pemimpin agama, Sultan menggunakan busana kebesaran raja berupa pakaian kampuh (dodot) bermotif parang rusak barong atau semen gedhe sawat gurdha karena dalam melaksanakan upacara keagamaan harus tampil dan berjiwa bersahaja . Para Pangeran juga menggunkan busana kebesaran yang lebih sederhana . Para pangeran menggunakan kain batik dengan motif parang tuding, parang curiga, parang rusak gendreh dan para putra Sultan menggunakan kain batik dengan motif parang rusak. Para Bupati menggunakan kain batik bermotifkan parang atau semen yakni : parang rusak gendreh, semen gedhe sawat gurdha atau semen gedhe sawat lar , dalam hal ini Sultan dengan pakaian kebesarannya dipandang memiliki kesanggupan untuk berhubungan langsung dengan arwah nenek moyang, penguasa Laut Selatan (sebelah selatan), gunung Merapi (sebelah utara), gunung Lawu (sebelah timur), kahyangan Dlepih (sebelah barat) dan makhluk halus lain. Upacara daur hidup yang dilaksanakan di Kraton Yogyakarta yang menganggap pentingnya dilaksanakan upacara-upacara sakral untuk mengatasi masalah-masalah kritis dan berbahaya dalam alur hidup manusia itu sendiri (masa kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian), Menurut kepercayaan Jawa peristiwa yang berkaitan dengan daur hidup bukanlah peristiwa kebetulan, peristiwa ini dipandang sebagai saat yang kritis dimana individu yang bersangkutan dalam keadaan lemah untuk itu diadakan upacara keagamaan dengan pakaian kebesaran yang telah disesuaikan dengan simbol-simbol yang penuh pengharapan. Pergelaran seni pertunjukan wayang wong, beksan lawung dan bedaya diadakan Sultan bila mempunyai hajat Pengetan jumenengan, Pengetan wiyosan, pesta perkawinan dan menyambut tamu agung. Para penari wayang wong, beksan lawung dan bedaya menggunakan motif batik yang sesuai dengan peran atau tokoh yang dibawakannya, misalnya peran seorang Batara Guru harus menggunakan kain batik motif parang rusak barong yang dianggap keramat, begitu pula sebaliknya jika seorang berperan sebagai punakawan (abdi), dia harus memakai kain batik motif slobok . Tari bedaya yang memiliki nilai-nilai sakral di dalamnya dan memiliki makna filosofis yang tinggi yang berkaitan dengan kisah percintaan raja-raja Jawa dengan Ratu Kidul penguasa Laut Selatan merupakan tarian sakral yang memiliki makna penyatuan budaya agraris yang meyakini keberadaan kekuatan kosmologis alam yang berorientasi pada gunung yang dalam hal ini penguasa daratan adalah raja dengan kosmologi alam yang berorientasi pada kekuatan laut yang dikuasai oleh Ratu Kidul, nilai kesakralan dalam tarian ini adalah ketika kehadiran Ratu Kidul yang bertemu langsung dengan raja untuk itu raja mengenakan pakaian kebesaran (motif batik) yang berbeda dengan motif batik yang dipakai para pejabat dan abdi dalem, sedang para penari khusus menggunakan pakaian batik (dodot) dengan motif Banguntulak alas-alasan dengan maksud memberikan sugesti berupa kekuatan untuk pertumbuhan, kesuburan dan kemakmuran dengan mengharap berkah dari Laut Selatan yang memberikan keseimbangan kosmis dalam eksistensi Kraton. Acara penerimaan tamu agung yang tingkat kedudukannya sama atau lebih tinggi dari sultan, misalnya Gubernur Jendral Belanda atau Ratu Belanda, Sultan menggunakan busana keprabon berupa kain kampuh bermotifkan parang rusak barong dengan memakai kunca di bagian belakang, menggunakan busana sikepan (jas) beludru dengan model bordiran, memakai kuluk kanigoro dengan nyamat dari logo emas, dari hal itu nampak nilai keseragaman busana Kraton untuk menunjukkan eksistensi Kraton, begitu pula dalam menghadap raja terdapat beberapa aturan yang sifatnya tertulis dalam ketentuan Kraton. Segala ketentuan seragam/ busana yang terkait dengan acara resmi Kraton dituangkan dalam Pranatan Dalem Bab Namanipun Penganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1927. BAB III KRATON YOGYAKARTA MASA HAMENGKU BUWANA VIII A. Kraton Yogyakarta Perjanjian Giyanti merupakan kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III) dan pihak dari kelompok Pangeran Mangkubumi yang menjadi solusi bagi salah satu kerusuhan yang terus terjadi di Mataram sepeninggal Sultan Agung. Perjanjian ini di lakukan di ara-ara hutan Giyanti di bawah pohon beringin besar dan ditandatangani pada 13 Mei 1755 dan disaksikan oleh Gubernur Jendral Marsekal dari Batavia dan Gubernur J.V Nicolas Hartings dari Semarang , yang secara de facto dan de jure menandai berakhirnya kerajaan mataram. Perjanjian Giyanti ini menyatakan bahwa kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta di bawah kekuasaan Sunan Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan Hamengku Buwana I, sebagai raja yang berdaulat Sultan Hamengku Buwana naik tahta dengan gelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I. Pembangunan Kraton Yogyakarta dimulai pada tanggal 3 Syura tahun Wawu 1681 atau 9 oktober 1755 dan selesai (secara resmi ditempati) pada Kamis Paing tanggal 13 Syura Jimakir tahun 1682 atau 7 Oktober 1756, yang termuat dalam kalimat candra sengkala dalam bahasa Jawa “Dwi Naga Rasa Tunggal” (1682) . Tata pusat kota Kraton Yogyakarta masih menganut seperti halnya sistem tata kota Kraton kuno Jawa yaitu ada alun-alun yang terletak di tengah-tengah kota, bangunan-bangunan terpenting didirikan secara tradisional dan jalan-jalan terus berpotongan membentuk bujur sangkar, dengan posisi Kraton menghadap ke utara . Jabatan Sultan dalam pemerintahan Kraton Yogyakarta merupakan jabatan yang tertinggi dan turun-temurun. Dalam menjalankan pemerintahan, Sri Sultan dibantu oleh Putra mahkota yang bertugas mengurus peradilan daereah dalem dan urusan keluarga; Penghulu mengurus permasalahan agama; Patih mengurus soal kenegaraan; para Pangeran mengurus Kraton dan Komandan prajurit mengurus soal ketentaraan . Abdi dalem merupakan istilah untuk menyebut orang yang bekerja di Kraton, mereka terdiri dari laki-laki dan wanita yang jumlahnya kurang lebih 1140 orang dan para abdi dalem dibagi dalam beberapa bagian, tiap bagian termasuk anggota salah satu departemen/ lembaga pemerintahan Kawedanan dan Tepas. Pangkat-pangkat abdi dalem yaitu : Jajar, Bekel enon, Carik, Bekel Tuwa, Lurah Wedana, Piyo Bupati Anom, Bupati Kliwon, Bupati, Nayaka . Untuk memelihara tata-tertib di seluruh wilayah kerajaan, diciptakanlah peraturan-peraturan (angger-angger) yang harus ditaati oleh seluruh penduduk. Dalam membuat peraturan hukum, seorang otoritas memberikan beberapa dasar nilai, antara lain nilai moral, nilai politik, dan nilai tata hukum. Nilai moral dalam hukum Jawa adalah melaksanakan hukum dengan sungguh-sungguh (temen-temen), hati yang suci (resik-resik) dan ikhlas. Nilai politik dalam hukum Jawa adalah suatu kesepakatan pengendalian sosial bersama , hal ini membuktikan bahwa masyarakat Jawa (Kraton) pada waktu itu menganut suatu pandangan hidup keseimbangan atau keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos, dengan kata lain masyarakat Jawa pada waktu itu menganggap bahwa suatu perilaku pelanggaran atau penyelewengan terhadap hukum dapat disamakan dengan penyelewengan terhadap tata kosmos . B. Aspek Sosio-Kultural Kehidupan sosial-budaya istana Kesultanan Yogyakarta seperti halnya kerajaan Jawa pada umumnya penuh dengan berbagai macam upacara-upacara tradisional yang bersendi atas faham religius-magis dan mistis-mitologis. Kraton Yogyakarta dipandang sebagai titik puncak kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa-Islam yang tentu mencerminkan kehidupan religius seperti dalam kehidupan masyarakat Jawa . Orang Jawa (Yogyakarta khususnya) menganggap bahwa raja adalah individu yang sangat sakti karena dipandang dapat memusatkan kekuatan-kekuatan supranatural. Pandangan masyarakat Jawa terhadap adanya kekuatan-kekuatan tersebut dipahami melalui simbol-simbol kekuasaan dan upacara-upacara yang diselenggarakan pihak keraton seperti upacara garebeg, labuhan, sesaji, tari bedaya dan lain-lain. Upacara tradisional tersebut merupakan upaya manusia untuk mencari keselamatan, ketentraman dan sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Upacara tradisional yang dilakukan tersebut secara fungsional memiliki dua sisi yang saling berkiatan yakni fungsi spiritual (mohon keselamatan pada Tuhan, agar leluhur memberi “restu”, agar roh-roh halus di sekitarnya tidak mengganggu) dan fungsi sosial yaitu sebagai sarana kontrol sosial (pengendalian sosial), kontak sosial, interaksi, sehingga terwujud rasa kebersamaan, keseragaman kegotongroyongan dan solidaritas. Keyakinan tentang adanya pulung atau wahyu Kraton dalam tradisi Jawa berkaitan dengan aspek keagamaan dalam masyarakat dan alam pikiran lingkungan istana. Dikatakan orang yang akan mendapat wahyu (pulung) mukanya memancarkan teja (sinar) yang melambangkan kewibawaan dan kesaktian yang dimilikinya . Hilangnya wahyu kerajaan dari seseorang raja merupakan pertanda bahwa kekuasaan kerajaan akan pindah tangan. Kewibawaan raja diperbesar dengan adanya benda-benda pusaka Kraton yang dianggap keramat. Anggapan tantang adanya hubungan mistis antara raja dengan Ratu Kidul (penguasa Laut Selatan) menempatkan diri raja tidak hanya sebagai manusia biasa, tapi manusia yang mempunyai kemampuan dan kekuatan atas kodrat, anggapan adanya hubungan akrab tersebut diperkuat dengan penciptaan tarian bedaya ketawang yang menggambarkan pertemuan dan percintaan antara raja-raja Jawa dengan Ratu Kidul . Masyarakat Yogyakarta secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni lapisan atas atau yang disebut lapisan orang besar (wong gede, priyayi luhur) sebagian besar termasuk golongan yang memerintah (golongan bangsawan keturunan raja, bangsawan karena pengangkata, juga pejabat birokrasi tingkat atas) dan lapisan yang kedua adalah lapisan bawah ialah rakyat biasa yang jumlahnya lebih besar dan merupakan golongan yang diperintah (pedagang, petani, pekerja kerajinan, buruh dan budak) . Golongan bangsawan meliputi Sultan, putra-putri Sultan (putro dalem), saudara-saudara kandung Sultan, cucu-cucu Sultan (wayah dalem), paman-bibi Sultan, termasuk pula istri Sultan baik yang permaisuri (garwa padmi) maupun bukan (garwa ampeyan) dan menantu sultan. Mereka yang termasuk dalam golongan bangsawan ini biasanya ditandai dengan gelar yang disebutkan di depan nama mereka. Gelar yang mereka sandang itu tergantung atas dekat dan jauhnya jarak hubungan mereka sebagai kerabat raja. Mereka yang punya hubungan kerabat dekat dengan raja depannya dituliskan gelar, untuk putra raja : Gusti Pangeran Harya (GPH), Bendoro Pangeran Harya (GPH), Gusti Raden Mas (GRM), Bendoro Raden Mas (BRM). Untuk putri raja : Gusti Raden Ajeng (GRA), Bendoro Raden Ajeng (BRA), Gusti Raden Ayu (GRAy) bila belum bersuami, Bendoro Raden Ayu (BRAy) bila sudah bersuami. Untuk Generasi ke tiga : Raden Mas (RM) untuk laki-laki, Raden Ajeng (RA) untuk putri bila belum menikah, Raden Ayu (RAy) untuk putri bila sudah menikah, Raden (R) untuk generasi ke empat . Golongan Priyayi masih ada hubungan kekerabatan keturunan dengan Sultan sebagian lagi ada Punggawa Kraton (abdi dalem) juga para pegawai kepatihan termasuk pegawai kepatihan termasuk pegawai pemerintahan umum (dahulu pegawai kantor pemerintahan kolonial) . Menurut Van Niel pengertian Priyayi adalah: Priyayi merupakan siapa saja yang berdiri diatas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat . Sedang definisi golongan priyayi menurut Cilfford Geertz adalah : Golongan priyayi adalah elit pegawai negeri yang ujung akar-akarnya terletak pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik dan sastra, dan mistisme Hindu . Golongan rakyat meliputi semua masyarakat di kota dan desa yang secara administratif termasuk dalam wilayah kekuasaan Kraton Yogyakarta yang terdiri atas para pedagang, pengerajin, tukang, buruh dan tani (wong cilik). Praktek-praktek budaya pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII banyak mengalami perubahan dari masa-masa sebelumnya diantaranya peraturan-peraturan hari menghadap raja dan tata caranya yang telah menjadi tradisi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII dirubah. Dalam upacara garebag mulud dan garebag syawal misalnya, Sultan Hamengku Buwana VIII mengenakan busana keprabon tetapi bentuk busana yang dipakai berbeda, jika Sultan Hamengku Buawan VII memakai busana antakusuma sebagai busana keprabon namun Sultan Hamengku Buwana VIII memakai busana sikepan beludru bordiran . Pergelaran seni pertunjukan berupa wayang wong, beksan lawung, dan bedaya pada masa Hamengku Buwana VIII dapat dikatakan mencapai zaman keemasan. Pergelaran seni pertunjukan ini untuk peringatan kenaikan tahta (pengetan jumenengan), ulang tahun Sultan (pengetan wiyosan), pesta perkawinan dan untuk menerima tamu agung. Tata busana tarinya pun mengalami pembaharuan, disamping itu pembaharuan juga dilakukan dalam bentuk tata busana tari yang dirancang berdasarkan pola tata busana wayang kulit, juga dilakukan penyempurnaan karakterisasi serta pengembangan kelangkapan tata pentas yang bergaya realistis . C. Aspek Politik dan Ekonomi Kraton Yogyakarta dalam hal urusan politik menganut konsep keselarasan antara urusan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama seperti halnya kerajaan kerajaan yang bersifat ketimuran , seperti halnya gelar yang disandang Sultan Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah, adapun artinya Ingkang Sinuhun berarti yang disembah-sembah, kanjeng berarti yang dipertuan, Sultan berarti raja, Hamengku Buwana berarti yang melindungi/ memelihara dunia, Senopati ing Alaga berarti pimpinan utama angkatan perang, Ngabdurrahman berarti abdi Tuhan, Sayidin berarti pipinan agama, Panatagama berarti pengatur agama, dan Kalifatullah berarti pengganti/ wakil Nabi. Salah satu konsep dari tradisi yang berlaku di lingkungan kraton Yogyakarta adalah gelar sultan tersebut memiliki makna sultan sebagai pemimpin yang sah yang berkuasa menentukan perdamaian dan peperangan karena kedudukannya sebagai panglima perang tertinggi sekaligus sebagai pelindung agama karena posisinya sebagai khalifatulah, yakni pengganti Nabi Muhammad SAW. Pemikiran seperti ini termanifestasi dalam sistem simbol budaya politik kraton Yogyakarta yang menempatkan raja/sultan sebagai panatagama dan khalifatullah. Kehidupan masyarakat tradisional selalu terdapat hubungan kepemimpinan yang patrimonial. Dalam situasi sulit, pemimpin adalah juga pengayom yang siap berdiri paling depan “ing ngarsa sung tuladha”, menjadi panutan dan trampil mengambil tanggung jawab dengan segala resikonya. Keteladanan yang mengandung watak Gung Binathara itu adalah esensi dari Hamengkoni . Gelar Sultan dalam tradisi Kraton Yogyakarta menunjukkan sistem politik dalam pemerintahan Kraton Yogyakarta menyatukan dimensi ilahiyah (agama) dan duniawiyah (politik dan budaya), karena agama Islam menjadi agama negara pada saat itu, dan dari gelar yang disandang oleh Sultan menunjukkan secara politik sultan berbeda dan tidak bisa disamakan dengan pejabat kraton dan terlebih lagi masyarakat umum. Max Weber dalam teorinya tentang stratifikasi : ekonomi budaya dan politik menjelaskan bahwa struktur kekuasaan yang terbentuk melalui otoritas adalah kemungkinan dimana seseorang akan ditaati atas dasar suatu kepercayaan akan legitimasi haknya untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain, hal ini dibuktikan dengan legitimasi kraton (raja) atas kawula alit dengan segala kebesaran baik dari gelar, busana, bangunan dan legitimasi magis lainnya, dampak dari hal itu terbentuklah kelompok-kelompok status yang berlandaskan pada ikatan subyaktif antara para anggotanya, yang terikat menjadi satu karena gaya hidup yang sama, nilai serta kebiasaan yang sama, serta oleh perasaan-perasaan akan jarak sosial dari kelompok status lainnya. Wewenang raja secara politis masih menjadi sesuatu yang dianggap suci dan wajib dilaksanakan secara sungguh-sungguh, hal itu menunjukkan segala keputusan yang dikeluarkan pihak Kraton menjadi sesuatu yang istimewa dan membawa keberkahan bagi masyarakat Yogyakrta sendiri. Weber dalam teorinya tentang wewenang yang menjelaskan melalui tradisi, apa yang dari dulu ada senantiasa sah, karena wewenang raja didasarkan pada kekeramatan tradisi. Rasa takut terhadap sangsi-sangsi magis memperkuat disipllin diri untuk mengubah perilaku yang sudah merupakan adapt-istiadat, dan pada saat yang bersamaan wewenang yang ada berlangsung terus dan dianggap sah karena adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuatnya. Pasar merupakan salah satu sumber pemasukan kas Kraton Yogyakarta yang terdapat di kota-kota pusat kerajaan merupakan salah satu sumber penghasilan bagi raja atau penguasa setempat lainnya. seringkali pasar tergantung pula pada konsesi-konsesi serta jaminan-jaminan perlindungan dari penguasa atau raja, karena penguasa atau raja mengharapkan memperoleh keuntungan dari kegiatan pasar tersebut, disamping itu juga untuk melindungi kontrak-kontrak antara mereka dengan pedagang pasar yang menyiratkan hubungan timbal balik antara pihak penjual dan pembeli dengan pihak penguasa. Dalam hal ini pasar dapat dikatakan sebagai sebuah alat organisasi yang memberikan keuntungan bagi Kraton. Alat organisasi dari kehidupan ekonomi teratur ini pertama-tama terdiri dari hubungan kekuasaan dan ketaatan yang timbul dari kekuasaan raja dan bupati…....Hubungan kekuasaan dan ketaatan ini kami sebut “ikatan feodal” dari masyarakat Indonesia . Jadi seluruh kehidupan ekonomi pada masa itu mempunyai sifat ikatan adat yang tegas sekali. Ikatan feodal adalah akibat langsung dari pranata-pranata dalam masyarakat dan bukanlah dari perjanjian. Para pegawai Kraton masa pemerintahan Hamengku Buwana I-VII digaji berupa tanah dan sawah namun pada waktu pemerintahan Hamengku Buawana VIII terdapat lembaga pemerintahan yang disebut Parentah Luhur Kraton; komtabilitet yang bertugas mengurus mandate dan menyimpan uang Kraton; Kawdanan keparah para gusti yang dikepalai Nyai Tumenggung dan Nyai Piyo, kas kraton, juga terdapat abdi dalem yang disebut Punakawan, Punakawan bedaya dan Bedaya putri . Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII uang disimpan di kasultanan, dan Sultan mengmbil gajinya menurut anggaran belanja yang setiap tahun ditetapkan dan tercantum dalam kontrak politik yang telah ditentukan oleh Gubernur Jendral Belanda pada waktu penobatan Sultan , dalam perjanjian kontrak politik yang harus ditandatangani, kekuasaan Sultan Hamengku Buwana VIII semakin sempit dan diperketat demi kepentingan pemerintah kolonial Belanda. di dalam Acte van Verband disebutkan : 1. Kedudukan Sultan semata-mata karena pemberian pemerintah Belanda, bukan karena hak sebagai Sultan. 2. Sultan harus menunjukkan kesetiaan dan pengabdian terhadap pemerintah Belanda. 3. Sultan tidak berwenang mengubah peraturan yang berlaku di dalam Kraton kecuali mendapat persetujuan pemerintah Belanda. 4. Sultan tidak dibenarkan menerima pemberian berupa apa saja dari daerah lain. 5. Sultan tidak diizinkan mengadakan hubungan dengan ataupun tanpa surat menyurat dengan darah lain tanpa sepengetahuan pemerintah Belanda. 6. Berkenaan dengan bidang pertanian dan perkebunan diusahakan berdasarkan kebutuhan Belanda. 7. Sultan mengizinkan pemerintah Belanda untuk menempatkan orang-orangnya di Kasultanan Yogyakarta. 8. Anggaran belanja Kraton ditentukan oleh pemerintah Belanda. 9. Biaya makan dan pendidikan para bangsawan harus berdasarkan persetujuan pemerintah Belanda. 10. Penyelenggaraan upacara-upacara kerajaan harus seijin pemerintah Belanda. Keputusan kontrak politik pada tahun 1921 menunjukkan kekayaan Sultan Hamengku Buwana VIII tidak utuh seperti pada periode Sultan Hamengku Buwana VII. Suatu ketentuan yang cukup mengurangi wibawa Sultan Hamengku Buwana VIII dalam pengelolaan keuangan Kraton. Kekayaan Sultan termasuk gaji kerabat Kraton kemudian diambilkan dari daftar yang disebut civiel lijst (daftar sipil) . Semua anggaran pengeluaran dan pemasukan tidak dikelola oleh dewan Kraton sendiri, namun harus ditetapkan oleh Sultan setelah berunding dengan panitia anggaran yang diketuai Gubernur, nampak jelas bahwa wibawa Kraton semakin menurun dengan berkurangnya wewenang atau kekuasaan politik secara otonom. Penghasilan raja diurus dan dilakukan oleh pejabat Pemaosan dan Melandang. Jabatan-jabatan ini termasuk di bawah wewenang Wedana-wedana Gedong. Pemaosan mempuyai tugas mengumpulkan pajak tanah, sedang Melandang bertugas mengurusi pungutan hasil bumi yang diserahkan ke Kraton. Sebagaimana pejabat-pejabat lainnya, Pemaosan dan Melandang juga mempunyai bawahan yang membantunya . Masuknya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di awal abad XX, membawa dampak yang besar terhadap perkembangan batik di Yogyakarta. Revolusi industri yang terjadi sekitar tahun 1870 dalam bidang industri tekstil membawa pengaruh terhadap industri tekstil dunia termasuk Indonesia. Penemuan batik cap pada tahun 1850 berdampak positif bagi proses produksi yang mencerminkan teknologi madya yang memadukan efisiensi dengan kontrol artsitik manusia. Penemuan ini merupakan tuntutan zaman untuk memenuhi peningkatan kebutuhan konsumen terhadap batik. Disamping itu, penemuan warna sintetik pada tahun 1917 lebih mendorong percepatan produksi batik di Yogyakarta . Penemuan ini memungkinkan orang Jawa meningkatkan produktivitasnya dalam memproduksi kain batik, dan penemuan ini mempunyai nilai artistik dan ekonomi yang tinggi. Kedudukan batik diluar Kraton seperti profesi pembatik masih disandang oleh wanita, demikian juga sebagian besar pedagang dan pengusaha batik pribumi pada umumnya dipegang kaum wanita. Produk batik yang dihasilkan oleh perusahaan pribumi, pada waktu itu berupa kain panjang (bebet atau nyamping), kampuh (dodot), kemben selendang dan ikat kepala (desathar). Penemuan batik cap mengakibatkan lebih menonjolnya kegemaran akan pakaian batik bagi orang Jawa khususnya masyarakat Yogyakarta, hal ini terbukti pemasaran batik pada waktu itu dapat dijumpai di pusat-pusat penjualan seperti pasar gedhe Beringinharjo dan beberapa took di kawasan Malioboro, Dagen, Ngadiwinatan, dan Suronatan. Pemasaran batik keluar daerah Yogyakarta dikirim ke kota-kota besar di wilayah pulau Jawa, Palembang, Banjarmasin, Menado dan ekspor ke Paramaribo . Keuntungan lainnya yang diperoleh dari produksi yang dihasilkan dengan metode cap ini mengakibatkan produksi pabrik yang terpusat dan merupakan awal dari perdagangan ekspor. D. Batik Sebagai Simbol Status Sosial Batik istana dalam kehadirannya sebagai produk seni Kraton merupakan salah satu alat legitimasi kelompok birokrat kerajaan atas golongan yang lebih rendah melalui life style (gaya hidup) Sultan dan kaum priyayi dengan menciptakan pengkultusan atas suatu produk budaya tersebut sehingga menduduki derajat “eksklusif” dalam wujud kebesaran dan keseragaman Kraton Yogyakarta,. Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya, pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Secara keseluruhan penampilan busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan legitimasi power dari pemakainya dalam keseragaman yang dengan sengaja diciptakan, terlihat bahwa penyajian busana adat kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Ketentuan-ketentuan di lingkungan Kraton yang mengatur keluarga raja dan pejabat Kraton dalam perilaku dan penampilannya, termasuk dalam hal ini cara-cara berbusana dan hal ini dipandang perlu demi kekuatan serta kemutlakan sebagai bagian dari gaya hidup dalam keseragaman Kraton dan legitimasi kedudukan raja. Dampak dari berbagai berbagai peraturan tersebut membangkitkan feodalisme, suatu sikap mental yang dinyatakan dengan perlakuan khusus terhadap sesama manusia berdasarkan jarak usia atau kedudukan . Hak cipta lambang status Kraton di Jawa mempunyai sejarah sejak jaman dahulu kala. Tulisan-tulisan pada batu karang dari abad IX dan X membuktikan adanya inventaris yang ruwet dari pola-pola dan jenis tekstil yang pantas dipakai para raja, pejabat golongan tinggi dan menengah, dan oleh kalangan yang lebih rendah . Tata aturan Kraton yang merupakan penghalusan dalam kehidupan sehari-hari seperti Dasa Sila Etiket Kraton yang meliputi ngadi saliro, ngadi busono, ngadi jiwo, ngadi logo, wisastro, udo negoro, dan susila secara jelas menunjukkan hal itu. Konstelasi feodal Jawa menempatkan Raja, Sultan, Sunan, serta sanak keluarganya sebagai pihak yang paling dihormati. Kehalusan busana Kraton, khususnya kain batik termasuk dalam tata tertib ini, karya-karya batik terindah dan terhalus dari segi bahan, teknik penggambaran, corak, warna serta perlambangnya dipilih dan diarahkan untuk mencapai tingkatan yang lebih halus (sopan), teristimewa kalangan Kraton . Pihak Kraton mengeluarkan peraturan secara lebih rinci dalam ketertiban penggunaannya mengikuti pola pengelompokkan corak yang sekaligus menunjuk pada tingkat keningratan yang boleh memakainya. Kelompok yang memiliki kepentingan telah menggunakan aturan-aturan berpakaian untuk menciptakan penampilan yang kuat dalam kontrol sosial, kebangsaan dan solidaritas kelompok . Kasultanan secara politis ada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda tetapi secara kultural tetap dapat mengembangkan berbagai hal yang dapat menjaga prestise dan kewibawaan. Melalui pakaian kewibawaan itu dibangun kembali dengan dihadirkannya berbagai larangan pemakaian terhadap kain dan busana tertentu beserta kelengkapannya. Kebijakan atau peraturan tentang penggunaan busana keprabon yang dikeluarkan masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII disebut Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, tahun 1927 sebagai revisi dari peraturan-peraturan yang sebelumnya, juga dimuat dalam Rijksblad van Djokjakarta No 19. th 1927. Peraturan itu berisi tentang pemakaian busana keprabon dan larangan terhadap penggunaan motif-motif batik tradisional tertentu, melalui busana yang dikenakan, perlangkapan kain batik, dan motifnya dapat diketahui jenjang gelar apa yang disandang oleh seseorang . Motif batik yang mejadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang pada masa Hamenku Buwana VIII adalah corak parang (Parang rusak barong, parang rusak gendreh, prang rusak klitik). Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan) meliputi semen gedhe sawat gurdha, semen gedhe sawat lar. udan riris/udan liris (artinya hujan gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan dapat menjalankan kewajiban dengan baik). Rujak senthe. Busana keprabon (Pangangge keprabon) yang dimaksud Dalam pranatan tersebut adalah : kuluk (wangkidan), dodot / kampuh serta bebet prajuritan, bebet nyamping (kain panjang), celana sarta plisire (celana cindhe, beludru, sutra, katun dan gelisirnya), payung atau songsong . Motif batik larangan : Parang rusak (parang rusak barong , parang rusak gendreh < 8 cm , parang rusak klithik < 4 cm), semen ageng sawat grudha (gurdha), semen ageng sawat lar, udan riris, rujak senthe, parang-parangan yang bukan parang rusak, semua ini besar-kecilnya sesuai menurut ukuran parang rusak . Tabel.2 Nama pejabat kraton dan motif batik yang dipakai (status sosial) Bab Jabatan Motif Batik 7 Putraning panjenengan nata dodot blenggen parang rusak barong bebet parang rusak barong 8 Kanjeng gusti pangeran adipati lan putrane Panjenengan nata ambaran dodot blenggen parang rusak barong bebet parang rusak barong 9 Putraning panjenengan nata dari permaisuri dodot blenggen parang rusak gendreh bebet parang rusak barong 10 Putraning panjengan nata dari ampeyan dodot blenggen parang rusak gendreh bebet parang rusak barong 11 Permaisuri panjengan nata Ampeyan penjenengan nata Sama dengan panjenengan nata dodot parang rusak gendreh bebet parang rusak gendreh 12 Padmine kanjeng gusti pangeran adipati anom Ampeyan kanjeng gusti pangeran adipati anom Sama dengan kanjeng gusti pangaran adipati anom dodot blenggen parang rusak klitik bebet parang rusak gendreh 13 Putraning kanjeng gusti pangeran adipati anom dodot parang rusak gendreh bebet parang rusak gendreh 14 Pangeran Santana dodot parang rusak gendreh bebet parang rusak gendreh 15 Bojone para pangeran putra Santana panjenengan nata Selir putra panjengan nata Sama dengan suaminya dodot blenggen semen gurdha sawat gurdha bebet parang rusak gendreh 16 Wayah panjenengan nata dodot blenggen semen gurdha sawat gurdha bebet parang rusak gendreh 17 Buyute panjenengan nata dodot semen gurdha sawat lar bebet parang rusak gendreh 18 Canggahe panjenengan nata dodot semen gurdha sawat lar bebet parang rusak gendreh 19 Wareng panjenengan nata – ke bawah dodot batik bebas (bukan parang rusak barong, parang rusak gendreh, parang rusak klitik, semen, udan riris, rujak sendhe) bebet parang-parangan (bukan parang rusak) 20 Pepatih dodot blenggen parang rusak gendreh bebet parang rusak barong 21 Abdi : pengulu khatim, wedana gedhe prajurit, bupati nayaka jaba-jero dodot blenggen semen gedhe sawat gurdha bebet parang rusak gendreh 22 Abdi : bupati patih ing kabupaten, bupati polisi dodot blenggen semen gedhe sawat gurdha bebet parang rusak gendreh 23 Abdi : pangulu landran, wadana keparak paragusti, bupati anom, riya bupati anom dodot blenggen semen gedhe sawat gurdha bebet parang rusak gendreh 24 Abdi dengan pangkat di bawah abdiningsun riya bupati anom dodot batik bebas (bukan parang rusak barong, parang rusak gendreh, parang rusak klitik, semen, udan riris, rujak sendhe) bebet parang-parangan (bukan parang rusak) Konsep pranata, kedudukan dan peranan sosial yang terjadi di Kraton Yogyakarta masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII ini dapat dipahami segala kebijakan atau putusan yang dikeluarkan pihak Kraton dan diberlakukan untuk umum. Pranata sebagai suatu sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus dalam hal ini lebih mengarah pada pranata politik (pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan masnusia untuk mengatur dan mengelola keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat) . Dari pranata yang dikeluarkan pihak Kraton dalam wujudnya “Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, tahun 1927” menyebabkan terwujudnya pola-pola sosial dalam suatu golongan/ kelompok atau masyarakat, khususnya keluarga besar Kraton Yogyakarta dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Sultan memiliki wewenang dalam penerapan pranatan tersebut di dalam istana, dan memiliki hak atas mereka yang tidak taat dan patuh seperti yang terdapat dalam Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, tahun 1927 bab 27 adeg-adeg yang ke 2 : Manawa pranatan iki ora di estokake utawa diterak ana ing sajrone kraton utawi yen arep lumebu ing kraton iku abdiningsun kang kawajiban angulat-ulatake supaya papacak-papacak iki di estokake ……………. wong-wong mau lumebu ing kraton utawi andawuhi metu saka sajroning kraton. dene wong-wong kang kawonggan mau kudu anatepi larangan dawuh iku dari kedudukan pranata sosial yang telah terbentuk tersebut individu atau masyarakat bertindak menurut norma-norma khusus dari pranata yang bersangkutan. Tabel.3 Penggunaan pakaian berdasarkan jabatan, dan kesempatan (waktu) Upacara Jabatan Pakaian Selamatan, Pasowanan Sultan Ageman kasatrian ageng (motif parang rusak, surjan polos, kuluk kanigara) Putri Baju lengan panjang tangkeban, peniti bros, nyamping khas mataraman, semekan, alas kaki, cenela Residen/ gubernur Baju dengan jas kuol warna bebas dan celana panjang bebas Para pangeran dan putra Santana Surjan, kuluk kanigoro, nyamping dengan aneka macam motif, sandal seloji Pepatih dalem Kuluk hitam polos, baju atela putih, keris, nyamping dengan aneka macam motif Abdi dalem reh jawi Kuluk polos putih, baju beskap lurik, keris, nyamping dengan aneka macam motif Abdi dalem reh pangulu Surban putih, baju antari hitam, wedang, nyamping dengan aneka macam motif Bupati nayaka Kampuh dengan kuluk, Abdi dalem reh punakawan, abdi dalem parentah luhur kraton, abdi dalem somatali Blangkon, beskap hitam, keris, sandal selop, nyamping dengan aneka macam motif Abdi dalem punakawan bedaya Kuluk putih, tanpa baju, keris, nyamping dengan aneka macam motif Abdi dalem punakawan Kuluk polos putih, tanpa baju, keris, nyamping dengan aneka macam motif Garebeg mulud Sultan Jas sikepan bludru warna gelap, kampuh motif parang rusak barong, kuluk biru polos, sepasang sumping emas, kalung panjang, cincin, cenela Para pangeran Jas sikepan, kalung panjang, celana cinde dengan kampuh parang rusak gendreh, keris, selop Para manggung Gelung bokor mengkureb, samir warna merah, pending, sonder, kain lurik, baju kebaya Abdi dalem keparak Idem Abdi dalem bupati Sama dengan para pengeran kecuali dengan kuluk warna putih Abdi dalem palwija Tanpa penutup kepala, rambut dengan suntingan bunga, telanjang dada, kain panjang Abdi dalem punakawan kaji Kopyah putih, sorban putih, baju antari putih, samir, wedhung/ golok Daur hidup (perkawinan) Sultan sebagai orang tua pengantin pada sesi majang tarub Motif cakar ayam Pengantin pada acara siraman Motif grompol Pengantin pada acara paesan Motif truntum Pengantin pada acara midodareni Motif truntum kembaran Para pelaku budaya dalam hal ini (pihak Kraton Yogyakarta dan masyarakat umum/ kawula alit) menganggap dirinya berada dalam suatu kedudukan sosial tertentu yang dikonsepsikan dalam sebuah status sosial dalam suatu masyarakat . Salah satu sumber kekuasaan dalam hal ini adalah kedudukan (raja atas abdi dalem dan rakyatnya), dalam penggunaan kekuasaan yang efektif maka setiap kebijakan atau aturan-aturan yang ditetapkan mampu menjadikan sebagai sebuah kontrol atas kesetiaan lokal (bersifat feodal), maka dari itu legitimasi seorang raja atas eksistensinya memegang kontrol yang penting untuk menunjukkan kebesarannnya. Kedudukan dalam suatu sistem dan pranata sosial yang telah terbentuk tersebut individu atau masyarakat bertindak menurut norma-norma khusus dari pranata yang bersangkutan, dan tingkah laku tersebut diwujudkan sebagai sebuah peranan sosial yang dari hal itu mampu mengindikasikan status sosial seseorang dalam sebuah sistem sosial masyarakat Yogykarta. BAB IV SIMBOLISME BATIK A. Simbolisme Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pandangan masyarakat Jawa dalam memaknai dan mengartikan realitas kehidupan yang dialami dan dirasakan tidak dapat dipisahkan terhadap perkembangan dan sistem budayanya. Dalam hal ini dapat dipahami bahwasannya kebudayaan itu bersifat berkelanjutan/ ajeg (continue) yang dalam ungkapan bahasa Jawa (Aporisma Jawa) biasa dipahami dengan Alon-alon waton kelakon, Gliyak-gliyak waton tumindak (untuk mencapai tujuan diperlukan keseksamaan, ketekunan, kewaspadaan serta kesabaran, namun kita tidak boleh hanya menunggu dan tidak berbuat apa-apa sama sekali, karena itu lebih baik kita langsung mulai melaksanakan sesuai dengan kemampuan, meski perlahan) . Sikap tersebut sesuai dengan karakteristik/ persifatan dalam falsafah (cara pandang) hidup orang Jawa yang menekankan pada kehalusan budi dan rasa serta ketentraman batin. Ketentraman batin dalam hal ini dapatnya diperoleh melalui keseimbangan diri (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos), yang dalam masyarakat Jawa sering diwujudkan dalam bentuk simbol sebagai perantara untuk menghubungkan/ menyatukan dirinya dengan kekuatan yang lebih besar yang berasal dari luar dirinya (kekuatan adhikodrati). Menurut pandangan Jawa pada umumnya, bahwa kosmos terbagi dalam bagian pangiwa dan bagian panengen. Dalam pangiwa terdapat segala unsur jahat, kasar dan nafsu untuk menghancurkan, sedang dalam bagian panengen terdapat unsur yang baik, tenang, halus dan nafsu untuk membangun dan orang tidak akan menghilangkan unsur-unsur yang terdapat dalam pangiwa karena hal itu dianggap sebagai bagian yang mutlak harus ada dalam alam kosmos dan bagian dari harmonisasi/ keseimbangan alam Cara pandang dan karakteristik masyarakat Jawa yang demikian itu, diungkapkan oleh Simuh dan dijelaskan Darsono dalam bukunya bahwa dikatakan sebagai ciri-ciri yang menonjol dalam budaya Jawa, yaitu penuh dengan simbol-simbol atau lambang-lambang karena masyarakat Jawa pada masa itu belum terbiasa berpikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang lebih konkret yang mudah diingat dan dipahami oleh masyarakat umum, karena pada hakikatnya dalam masyarakat sederhana (masyarakat klasik) menggambar sama halnya dengan menulis dalam artian pengertian gambar sama halnya dengan tulisan yang mampu memberikan informasi pada masyarakat atas maksud dan tujuan dibuatnya suatu tulisan atau lambang tertentu. Dengan demikian segalanya dapat menjadi teka-teki, karena simbol dapat ditafsirkan secara majemuk dalam konteks masyarakat penerusnya (generasi berikutnya). Simbol menurut Ida Bagus Gede Yudha Triguna sebagimana dijelaskan Dharsono memiliki fungsi ganda yakni transenden-vertikal (berhubungan dengan acuan, ukuran, pola masyarakat dalam berprilaku) dan imanen-horisontal (sebagai wahana komunikasi berdasarkan konteknya dan perekat hubungan solidaritas masyarakat pendukungnya). Realitas budaya yang ada dapat dipahami bahwasannya logika orang Jawa kebanyakan dibangun atas dasar “religi-magi” yang disesuaikan dengan kondisi alam sekitar yang mempengaruhinya. Nur Syam menyebutnya dengan istilah “logika bolak-balik” yang berorientasi pada supernatural – natural – supernatural, dalam artian kehidupan manusia bergerak dari supernatural ke natural, material atau kehidupan sehari-hari, dan melalui hal itu lagi akan kembali ke supernatural. Melalui penggambaran model berpikir Jawa ini akan dapat dipahami kerangka pikir orang Jawa yang berorientasi pada harmonisasi hubungan antara kawula-gusti, yaitu kesatuan harmonis antara spiritual dan material, yang seringkali diwujudkan ketaatan terhadap raja atau pemimpin selaku wakil Tuhan di muka bumi. Menurut Nur Syam seperti halnya yang diungkapkan C. Geertz bahwa kebudayaan dalam wujudnya apapun (bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian) dapat dipahami sebagai sebuah “sistem kognitif dan makna” yang merupakan pengimplementasian dari Model Of (pola bagi tindakan) dan “sistem nilai” yang merupakan pengimplementasian dari Model For (pola bagi tindakan) yang keduanya dihubungkan dengan “simbol”. Contoh yang lebih sederhana adalah upacara keagamaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat merupakan “pola dari” sedangkan ajaran yang diyakini kebenarannya sebagai dasar atau acuan melakukan upacara adalah “pola bagi” dari budaya tersebut, sedang untuk menghubungkan keduanya diperlukan simbol untuk dapatnya terjaga eksistensi suatu budaya dengan pendukungnya dengan tetap menjaga keselarasannya. Perkembangan kebudayaan suatu masyarakat dan para pendukungnya terdiri dari tiga hal penting yakni : Sistem Pengetahuan (kognitif), Sistem Nilai (edukatif), dan Sistem Simbol (pemaknaan). Yang pada hakikatnya kebudayaan merupakan keseluruhan dari pengtahuan manusia yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan penginterpretasi dari seluruh tindakan manusia yang diyakini kebenarannya . Dalam kerangka teoritik keilmiahan itulah budaya Jawa hidup dan terus bertahan hingga saat ini. Pandangan orang Jawa yang menekankan kehalusan budi dan rasa serta ketentraman batin yang diimbangi dengan keselarasan dan keseimbangan alam dengan segala sikap Nerima ing pandum (menerima atas segala peristiwa yang terjadi) inilah yang menempatkan manusia/ individu di bawah masyarakat, dan masyarakat di bawah alam semesta dan dapat diyakini bahwa keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos menentukan segalanya untuk dapat menjalani hidup dengan benar. Hubungan mikrokosmos dan makrokosmos tersebut sesuai dengan pendapat Umar Khayam bahwa mikrokosmos sebagai jagad kecil merupakan jagad yang harus diupayakan terus keselarasannya, keselarasan batin dan jasmaninya. Jagad kecil sebagai unsur bagian jagad besar harus juga terus menjaga agar hubungannya dengan unsur-unsur lain dari jagad besar tetap selaras. Adapun jagad besar itu, menurut pandangan orang Jawa terdiri dari segala macam unsur baik yang terlihat maupun tidak terlihat oleh mata. Manusia, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung, dan para lelembut, roh halus, roh para cikal bakal pendiri desa (Sing Mbabat Alas : istilah Jawa) adalah unsur-unsur jagad yang berada dalam hubungan keteraturan dan keajegan yang berarti juga keteraturan. Keteraturan dan keajegan itu dipandang oleh orang Jawa berada dalam posisi yang tidak sejajar melainkan senantiasa dalam hubungan hierarkis. Ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-makro-metakosmos, sesuai sistem berpikir budaya religi-magi (mistis) Indonesia dan tidak pernah lepas dari unsur sinkretik. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta, maka dari itu manusia harus menyadari tempat dan kedudukanya dalam jagad raya ini. Pandangan tentang mikro-meta-makrokosmos, dalam konsep yang kemudian disebut ajaran Tribuana/ Triloka , yakni : • Alam Niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera) • Alam Sakala Niskala (alam wadag dan tak wadag, yang terindera tetapi juga tak terindera) • Alam Sakala (alam wadag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam metakosmos tadi lewat Sakala Niskala yakni lewat kekuasaan perantara yakni Shaman atau pawing, dan lewat kesenian. Kepercayaan yang demikian itu dapat dilihat dari susunan bangunan kraton, makam, masjid dan beberapa bagunan peninggalan masa Islam Nusantara lainnya yang penuh dengan syarat simbolisme religi. Dalam aporisma Jawa lebih dikenal dengan Urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran. Purwa, Madya, Wasana (Hidup itu berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Alam Purwa-Permulaan, Alam Madya-Tengah, Alam Wasana-Akhir) Dalam hal ini nampak jelas kesinambungan sebuah eksistensi keyakinan yang terus diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Melalui simbol-simbol inilah manusia berupaya untuk mencapai kesempurnaan diri dengan tetap menjaga keseimbangan (balance) dan komunikasi yang selaras dengan dirinya sendiri (kekuatan yang ada dalam diri) maupun kekuatan di luar dirinya. Melalui alam seni, rasa budaya manusia yang dipenuhi dengan segala macam gejolak jiwa yang tidak terungkapkan dalam kehidupan keseharian dicurahkan dalam bentuk simbol-simbol yang dipercaya dapat mengantarkan dan memberikan ketenangan jiwa. Manusia dengan kehidupan estetis inilah mampu menangkap dunia dan sekitarnya yang mengagumkan, kemudian ia merenungkannya kembali rasa keindahan itu dalam beberapa karya seni, sedang dalam tingkatan etika manusia mencoba meningkatkan kehidupan estetisnya dalam bentuk tindakan manusiawi yaitu bertindak bebas dan bertanggung jawab. B. Batik Dalam Dimensi Sakral Aspek sakralitas yang melekat pada batik dengan motif atau corak-corak tertentu merupakan pengejawantahan dari pada kondisi batiniah (alam mikro) dengan alam sekitar (alam makro) yang diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Pada dasarnya batik Kraton atau batik pedalaman merupakan suatu produk budaya yang tumbuh dan berkembang diatas dasar-dasar filsafat kebudayaan Jawa (kehidupan Kraton) yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan permurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi dan seimbang . Batik Kraton memiliki ciri fisik maupun non fisik yang khas yang mencerminkan kondisi alam dan jiwa, dimana batik Kraton lebih didominasi dengan warna-warna gelap, coklat dan hitam yang menggambarkan tentang ketenangan jiwa dan kehalusan rasa seni dan budaya Kraton. Dominasi warna gelap ini juga tak lepas dari kondisi alam seperti pohon, ranting, daun-daunan, bunga, buah-buahan aliran sungai, dll. Kerajinan batik tradisional (batik Kraton) sebagai sebuah karya seni mempunyai unsur-unsur dalam bentuk proporsi, warna, serta garis yang diekspresikan dalam bentuk motif, pola, dan ornamen yang penuh dengan makna simbolis, magis, perlambangan halus dan teliti dalam penggarapannya . Motif-motif batik klasik (batik Kraton) mengandung beberapa arti dan dipandang cukup berarti bagi orang-orang Jawa. Disamping itu ornamen-ornamen batik klasik harus dapat melahirkan rasa keindahan, dalam artian dapat memberikan perpaduan yang harmoni antara tata warna dengan susunan bentuk pada ornamennya lengkap dengan isiannya . Seni batik harus memberikan keindahan jiwa, susunan dan tata warna yang dilambangkan pada ornamen isiannya, sehingga akan memberikan gambaran yang utuh sesuai dengan paham kehidupan. Pemakaian tata warna batik seperti kuning, putih, merah, biru dan hitam menjadi karakteristik orang Jawa yang dianggap memiliki lambang/ simbol pemujaan terhadap kedudukan yang lebih tinggi. Pada umumnya lambang yang dinyatakan dalam bentuk simbol diilhami oleh lambang-lambang warna kosmogoni Jawa yaitu keblat papat lima pancer yang juga disebut dunia waktu yang digambarkan dalam bentuk penggolongan keempat dimensi ruang berpola empat mata angin dengan satu pusat ditengahnya. Makna warna-warna itu didasarkan atas mata angin yang memiliki warna simbolik yaitu : Gb. 12 X : WARNA PERPADUAN Dalam ajaran Tasawuf Jawa lebih dikenal dengan sedulur papat lima pancer yang dalam pemaknaan simbolismenya diorientasikan pada sikap pengandalian diri yaitu dilambangkan dengan : Gb. 13 Gb. 14 Dari kesemua elemen warna, unsur alam dan persifatan manusia yang memiliki garis hubung di setiap elemen itulah yang medasari nilai kepercayaan/ keyakinan masyarakat Jawa dalam mendapatkan ilham/ intuisi. Dan warna-warna tersebut memiliki kedudukan yang berpengaruh terhadap penempatan warna baku pada batik klasik (batik Kraton). Tabel 4. (sistem waktu dalam ruang kosmos ) Bumi Hitam Lauwamah (utara) Angongso (serakah), menimbulkan dahaga, kantuk, lapar,dsb. Lahirnya dari mulut dan tempatnya dalam perut, diibaratkan hati yang bersinar hitam. Api Merah Amarah (selatan) Memiliki watak angkara murka, iri, pemarah dan sebagainya. Bersumber di empedu timbul dari telinga, ibarat hati bersinar merah. Angin Kuning Supiah (barat) Artinya birahi, menimbulkan watak rindu, membangkitkan keinginan, kesenangan, dsb. Bersumber dari pada limpa, timbul dari mata ibarat hati bersinar kuning. Air Putih Mutmainah (timur) Artinya jujur, ketentraman, punya watak loba akan kebaikan, tanpa mengenal batas kemampuan, sumbernya dari tulang timbul dari hidung, ibarat hati bersinar putih. - - Kama (pusat) Artinya budi yang merupakan penggambaran subyek dari nafsu batin manusia Tata susun pada karya seni batik merupakan satu kesatuan secara utuh sebagai bentuk satu kesatuan, misalnya tata susun pada batik meru, unsur meru mempunyai unsur kehidupan demikian juga dengan api, angin, dan air yang masing-masing digambarkan sebagai jilatan api, burung dan ular (sisik). Sedangkan pada tata warna batik klasik (batik Kraton) pada umumnya menunjukkan bahwa warna biru tua (wulung), coklat tua (dragemsogan) dan putih lebih banyak disukai orang sebagai latar belakang ornamennya. Dalam beberapa hal warna-warna tersebut didapatkan dari bahan tumbuh-tumbuhan secara alamiah . Para pembatik menghasilkan rancangan batik melalui proses pengendapan diri, meditasi untuk mendapatkan bisikan hati nuraninya. Dalam hal ini religiusitas berperan besar di dalam pembentukan nilai-nilai adiluhung suatu karya seni . Hakikat kebatinan ada pada permasalahan kedudukan serta kehidupan manusia di dunia dan di tengah jagad raya yang dipandang melalui perspektif religius. Manusia dinilai keberadaannya dalam konteks kosmologis, di tengah-tengah alam semesta yang diyakini merupakan kancah pergulatan antara dua kekuatan, pangiwa dan panengen, kekacauan dan ketertiban, kebaikan dan keburukan, hitam dan putih (monodualisme), yang dalam hal ini manusia tidak mungkin terlepas dari keduanya. Sasaran utama dari ajaran ini adalah kesantunan, seni dan praktek mistik . Melalui kebatinan dipercaya bahwa seseorang dapat memurnikan dirinya, bersatu dengan asal-usulnya serta mencapai keserasian, keseimbangan, ketertiban menuju kemurnian dan kemuliaan diri . Ajaran kosmogoni Jawa memberikan arti bahwa keempat unsur hidup alam itu pada hakikatnya ada dalam diri manusia. Oleh karena itu lambang-lambang yang digambarkan baru akan memperoleh makna apabila manusia mampu mengkaji dan mengendalikan diri dari sifat dan karakter lambang-lambang tersebut. Sifat pengendalian diri dalam religi Jawa disebut sebagai Nur-rasa , yaitu kehendak (Nur) yang menggerakkan cita rasa (kehendak jiwa) dan cipta karsa (budaya). Kegiatan membatik merupakan suatu proses pencapaian kemurnian serta kemuliaan dalam rangka mengabdi dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, aspek rasa sangat berperan dalam menentukan nilai sakralitas dari batik itu sendiri karena di dalam rasa (Rahsa : Ruh Hyang Esa) merupakan bagian dari ajaran tentang kawula-Gusti, hubungan manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol melalui petunjuk yang didapat dari proses olah batin tersebut. Melalui praktek-praktek religius mistik itu jugalah batik terwujudkan dalam ungkapan warna dan ragam-ragam hias yang terhalus. Ungkapan yang sering digunakan dalam runtutan kegiatan serta pengalaman mistik itu adalah mbatik manah, yang kurang lebih berarti mencipta batik melalui totalitas pencurahan jiwa dan raga . Damardjati Supadjar memberikan gambaran bahwasannya aktivitas membatik merupakan aktivitas total lahir dan batin yang “ngrawit” bahkan “mupus” dalam artian sebuah upaya untuk menggapai cahaya ruhani. Seperti apa yang tertulis dalam syair Jawa : Soyang, soyang Mbathika plangi ndur kasmaran Yayah bu, yayah pak Putraningsun adipati kulanuwun Mboten trima, mboten trima Anakku disiya-siya Syair tersebut menggambarkan/ menceritakan jeritan hati seorang ibu, atas perlakuan menantunya yang menduduki jabatan yang tinggi terhadap anak putrinya, namun dalam penderitaan itu ibu berperan untuk (terhadap putrinya) membatik “plangi ndur kasmaran”. Damardjati Supadjar dalam karyanya yang lain menyebutkan batik merupakan karya seni yang tinggi yang dikerjakan pada saat wanita mbobot (hamil), dengan harapan aktivitas tersebut yang bersangkutan sedang menelusuri sorat-sorat kehidupan di ambang momentum “padhang hawa”, lok-ing jabang bayi (menyongsong kelahiran sang bayi), dengan kata lain, dari semua aktivitas atau proses membatik yang menghasilkan motif atau corak batik tertentu merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari kesaksian sakral ruh yang mencakup penyaksian dalam bentuk visual (seni sastra) ataupun auditif (gending) . Dalam bentuk visual dapat diartikan sebagai sebuah upaya penginderaan terhadap realitas semesta, dan dalam bentuk auditif dapat diartikan sebagai sebuah upaya penginderaan semesta yang tidak terindera dengan panca indera. Batik dengan nilai sakralnya menyiratkan bahwa dengan pewarna alami yang terekam pada sisi di baliknya dalam bentuk lambang-lambang/ motif batik dapat memberi harapan baik, lambang-lambang tersebut bersentuhan dengan badan (wadag) si pemakai dengan cahaya kesucian (simbolisme batik) yang memberi harapan baik . Demikianlah sederetan motif-motif yang penuh dengan syarat simbolisme dalam religi Jawa dihubungkan dengan kejadian penting dalam kehidupan seperti kelahiran, khitan, perkawinan, kehamilan, kebahagiaan dan kematian, dalam hal ini religiusitas berperan besar dalam pembentukan nilai-nilai sakralitas suatu karya seni. C. Simbolisme dan Makna Batik Kraton Pola pikir manusia Jawa yang berorientasi pada filsafat kejawen dan kebatinan yang mengutamakan pengolahan jati diri secara utuh (jasmani dan ruhani) menuju kemuliaan dan kesempurnaan inilah yang mendasari penciptaan corak-corak dalam dunia batik Kraton. Orientasi terhadap kekuatan-kekuatan alam dan ketergantungan terhadap alam inilah yang selanjutnya melahirkan konsep tentang manca-pat sebagai suatu dasar dari kegiatan dalam pola angka-angka empat dan lima yang memiliki kedudukan khusus dalam religi masyarakat Jawa. Dalam hal ini ketenangan jiwa masih sangat berpengaruh sebagai hal yang ideal di dalam pandangan masyarakat Jawa Batik merupakan salah satu jenis hasil kerajinan seni budaya yang tinggi dan luhur, dalam hal ini motif batik tradisional sendiri merupakan karya seni yang dalam penciptaannya dikaitkan dengan pendangan hidup dan traidisi yang ada dalam masyarakat. Simbolisme pada batik ditampilkan dalam bentuk warna-warna yang diterapkan pada motif-motifnya, seperti halnya dengan ornamen pada batik Kraton, penyusunan warnanya juga mempunyai arti filosofis yang selalu dikaitkan dengan paham kesaktian/ kejawen-kebatinan. Pewarnaan dalam batik tradisional (Kraton) lebih dominan warna biru/ hitam, merah coklat/ soga dan putih. Warna-warna tersebut dalam dimensi keyakinan masyarakat Jawa mempuyai arti yang melambangkan sesuatu. Seperti warna biru/ hitam melambangkan kekekalan atau keabadian, warna putih melambangkan kehidupan atau cahaya kehidupan dan warna merah/ soga memberikan arti kebahagiaan. Unsur-unsur pola pada batik merupakan prinsip dasar penyusunan batik. Unsur pola pada batik terdiri dari unsur motif batik yang disusun berdasarkan pola yang sudah baku , yakni : 1. Motif utama, merupakan unsur pokok pola, berupa gambar-gambar bentuk tertentu, karena merupakan unsur pokok, maka disebut pula ornamen pokok (utama). 2. Motif pengisi, merupakan pola berupa gambar-gambar yang dibuat untuk mengisi bidang, bentuknya lebih kecil dan tidak turut membentuk arti atau jiwa pola tersebut, ini kita sebut ornamen pengisi (selingan) 3. Isen, untuk memperindah pola secara keseluruhan, baik ornamen pokok maupun ornamen pengisi diberi isian berupa hiasan; titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis. Biasanya isen dalam seni batik mempunyai bentuk dan nama tertentu, dan jumlahnya banyak. Motif utama selain tampak mendominasi pelataran kain, motif utama merupakan penghayatan pembatik terhadap alam pikiran serta falsafah yang dianutnya. Pada bagian ini merupakan ungkapan perlambangan atau biasanya menjadi nama kain seperti alas-alasan, truntum, sidomukti, dll. Ragam hias tambahan sering tampil dalam aneka corak pengisi latar kain pada bidang-bidang kosong, isen-isen yang umumnya berukuran mungil dibuat setelah selesai membuat ragam hias utamanya. Tidak jarang isen-isen dibuat lebih rumit dibandingkan dengan corak utamanya seperti gabah sinawur, corak geringsing, geringsing lunglungan, dll. Ragam hias alas-alasan (alas : hutan) menggambarkan tentang kehidupan alami, yang mewakili kehidupan flora dan fauna khusunya di hutan. Lebih khusus melukiskan tentang bentuk-bentuk kehidupan dunia binatang dan tumbuhan, perlambang sebagai simbol kehidupan dunia bawah yang eksistensinya untuk memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan kelangsungan hidup manusia yang di analogkan sebagai keanekaragaman sifat dan masalah yang dihadapi dalam perjalanan hidup manusia. Makna kain yang bercorak alas-alasan adalah agar manusia dapat tetap bahagia dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup dengan memberikan sugesti berupa kekuatan untuk pertumbuhan, kesuburan dan kemakmuran. Ragam hias truntum yang polanya terdiri dari bunga-bunga kecil yang baru mekar, tersusun secara sejajar merata keseluruh permukaan kain yang berwarna gelap (hitam atau bitu tua), yang bunganya berkelopak delapan yang dilukiskan dalam bentuk garis spiral kecil yang menajam ujung-ujungnya . Yang secara kajian toponimi berasal dari kata tumaruntum yang berarti saling menuntun atau juga berasal dari kata tuntum yang artinya tumbuh, selain itu umumnya dikaitkan dengan kata tentrem atau tentram dimana suatu keadaan kejiwaan manusia pada umumnya . Secara keseluruhan motif/ pola truntum dapat diartikan mampu memberikan manusia berupa kekuatan cinta kasih seperti halnya terdapat dalam ajaran astabrata (delapan perbuatan baik) yang dalam motif ini diwujudkan dalam bentuk delapan kelopak bunga kecil-kecil, dalam ajaran ini astabrata diidentikkan dengan persifatan dan karakteristik yang dimiliki dewa-dewa seperti Dewa Indra, Dewa Surya, Dewa Anila/ Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, Dewa Agni/ Brama, Dewa Yama, Dewa Candra. itulah sebabnya kain ini melambangkan kebersamaan dalam hidup, saling menuntun atau menolong dalam kesukaran dan kain ini paling banyak disukai oleh pengantin. Ragam hias batik dengan motif sidomukti (sido : jadi, mukti : bahagia) memiliki makna sejahtera lahir dan batin yang mana kain motif ini biasa dipakai busana pengantin dengan harapan dapatnya mencapai kebahagiaan, berkecukupan, masa depan yang baik, kasih sayang, dan keluhuran budi setelah memperoleh anugerah dan limpahan-Nya . Pola dasar corak ini adalah ketupat yang masing-masing berisi aneka macam hiasan seperti sayap, kupu-kupu, burung tumbuhan, bunga dan bangunan yang dimaksudkan dalam hubungan dengan Tuhan yang digambarkan dalam simbol sayap dan kebahagiaan digambarkan dalam bentuk bangunan , untuk itu perlunya dipahami oleh masyarakat Jawa atas makna simbolisme yang baik ini layaknya didapatkan oleh pengantin yang hendak merajut benang kehidupan yang akan ditempuh dengan tetap mengharap anugerah-Nya, begitu pula berlaku pada simbolisme dalam motif sidoluhur dan sidomulyo. Ragam hias batik Isen-isen dalam fungsinya untuk memperindah pola secara keseluruhan, baik dalam bentuknya sebagai ornamen pokok maupun ornamen pengisi berupa titik, garis, gabungan titik dan garis , juga memiliki makna simbolis yang memiliki nilai dan kedudukan tertentu dalam falsafah keyakinan masyarakat Jawa, diantaranya gabah sinawur yang dibuat berdasarkan penghayatan dan tidak mempersoalkan ketepatan bentuk tetapi lebih menangkap kesan secara keseluruhan, sehingga tidak mengherankan apabila ragam hias ini lebih sering menjadi penghias latar kain . Pada corak geringsing (isen-isen) tergambarkan susunan bentuk biji buah asam (klungsu : dalam bahasa Jawa). Yang latar sejarahnya corak ini termasuk salah satu corak pada batik tua yang juga disebut-sebut pada jaman sebelum Majapahit . Nama geringsing menurut kamus Van der Tuuk adalah nama dari pakaian wayang jaman dulu “Berpatih Geringsing wayang lakon R. Ardjuna” dan dikayangan Bathara Indera terdapat pisang berpupus geringsing “Stanyanyah Geringsing” adalah ketan dan injing yang dipakai sesaji pada plangkisan. Dalam kitab Pararaton dalam bahasa Kawi dituliskan samangke Raden Wijaya adum lancingan geringsing ring kawulanira sawiji sowing, ayun sira mangamuka yang artinya Raden Wijaya membagi-bagi cawat belang-belang hitam putih kepada hambanya, masing masing sehelai, ia bertekad untuk mengamuk , hal ini menunjukkan bahwa motif geringsing sudah ada sejak dulu. Sedang pada corak geringsing lunglungan terdapatnya tambahan corak tangkai tumbuhan yang berlekuk berkesinambungan yang seringkali juga ditambah dengan lukisan burung (phoenix) berekor panjang berliuk-liuk . Kajian makna simbolis di dalam batik Kraton yang akan menjadi fokus kajian adalah batik yang lingkup coraknya diatur dalam tata aturan atau ketentuan yang dibuat pihak Kraton diantaranya meliputi motif sawat, parang, cemukiran, udan liris, rujak sente, garuda ageng, kawung dan semen. Batik dengan motif sawat menyiratkan makna simbolis yang dalam yakni melambangkan mahkota atau penguasa tinggi, sudah barang tentu dalam hal ini diidentikkan dengan eksistensi raja atau sultan sebagai penguasa tertinggi di Kraton yang sekaligus mendapatkan legitimasi dari Tuhan selaku wakil-Nya di dunia yang sesuai dengan gelar yang disandang raja atau sultan. Secara mendetail motif sawat digambarkan berbentuk sayap-sayap besar yang merepresentasikan penggambaran garuda, dalam mitologi Hindu sebagai kendaraan Dewa Wisnu , yang juga sebagai simbol khusus Dewa Wisnu (dewa pemelihara). Dalam hal ini yang mampu memelihara ketentraman dengan kuasanya hanyalah raja atau sultan yang dianggap dan dilegitimasikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi, dari pada itu hanya raja yang boleh menggunakan motif atau corak ini dengan maksud hanya raja dan penguasa yang mampu dan memiliki kekuatan untuk memelihara dan memberikan keseimbangan berupa perlindungan kepada rakyatnya. Dalam dunia mitologis Hindu, garuda sebagai kekuatan pembebas seperti halnya cerita tentang upaya Garudeya dalam membebaskan ibunya Sang Winata dari Sang Kadru dengan membawa air Amrta (relief pada candi Kidal : Jawa Timur), motif sawat memberikan arti keabadian seperti halnya perjuangan Garudeya mendapatkan air Amrta (A : tidak, Mrta : mati) jadi secara maknawiahnya lambang kemahkotaan diidentikkan dengan motif sawat yang mampu memberikan keabadian, dan sifat-sifat itu hanya dimiliki oleh raja selaku wakil Tuhan. Motif parang merupakan motif yang dalam penataan ornamennya selalu menerapkan ragam hias yang disebut dengan mlinjon (buah pohon Eso yang dapat dibuat emping), yaitu bentuk belah ketupat yang ditata berderet sejajar dengan motif pokok parangnya. Motif parang pada mulanya adalah motif karang yang artinya gunung yang identik dengan kedudukan yang tinggi yakni dewa atau raja jadi yang pantas memakai kain batik motof ini hanyalah raja. Motif parang rusak pada dasarnya memiliki banyak cerita dan bernilai filosofi tinggi . Ada beberapa tafsiran yang berbeda dalam mengartikan corak ini. Pertama, lukisan parang yang tertekuk adalah pedang yang tidak sempurna atau rusak, sehingga corak ini bermakna kurang baik dan hanya mereka yang memiliki kekuatan tertentu saja yang dapat menangkal pengaruh buruk ragam hias tersebut. Parang rusak juga mempunyai makna sebagai pedang untuk melawan kejahatan dan kebatilan sehingga hanya boleh dipakai oleh orang-orang yang berkuasa yaitu raja dan penguasa. Kedua, corak ini juga diartikan sebagai lambang pertumbuhan, penuh kekuatan, dan kecepatan yang dipresentasikan oleh lambang khas raja yaitu bunga lotus. Parang rusak juga dinggap simbol kesucian dan kekuatan seperti Tuhan, dan diduga corak ini dipersembahkan kepada Sultan Agung penguasa Mataram tahun 1613-1648 , sedangkan pada motif parang rusak barong demikian pula maknanya, barong menggambarkan roh jahat yang selalu menyerang manusia jadi kain batik dengan motif parang rusak barong ini menggambarkan suatu kekuasaan untuk menyerang musuh (roh jahat) dan yang memiliki kemampuan ini adalah Raja yang mendapat legitimasi secara magis dari Tuhan. Pada intinya motif parang mampu mengindikasikan mengenai kekuasaan atau kekuatan dan martabat yang tinggi (kesucian) bagi pemakainya serta mampu menangkal kebatilan. Motif cemukiran pada dasarnya sama dengan motif parang dimana motif yang dibuat juga merupakan turunan bentuk lotus sebagai simbol penguasa, cuma bentuk ini digunakan sebagai ragam hias pinggir kain mengelilingi bidang tengah yang kosong (tanpa corak) , motif ini merupakan bagian dari motif lidah api yang dalam keyakinan masyarakat Indonesia kuno api melambangkan kekuatan sakti yang dapat mempengaruhi watak manusia dan bila dikembangkan secara terkendali unsur api akan menjadi watak pemberani dan pahlawan . Motif udan liris merupakan penggabungan bermacam-macam corak dalam bentuk garis-garis sejajar diagonal. Ragam hias ini melambangkan pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai dengan namanya yang berarti hujan rintik-rintik yang bermanfaat menyuburkan serta menghidupkan semua kehidupan di muka bumi , dalam hal ini yang mampu memberikan kehidupan dan memiliki sifat menyuburkan hanyalah Tuhan, jadi motif udan liris ini sebagimana motif-motif lain yang merupakan pengejawantahan esensi kekuasaan Tuhan di muka bumi yang diwakilkan pada raja atau sultan yang berkuasa yang bertugas memberikan kehidupan dan pengayom serta menyuburkan wilayah kekuasaannya. Motif ini hanya boleh digunakan oleh para penguasa yang memiliki karakteristik yang sama dengan kekuatan simbolisme yang dibentuk dalam kain batik tersebut. Motif kawung dihormati karena mencerminkan manca-pat, bentuknya seperti biji dilambangkan sebagai kesuburan manusia maupun tanaman . Ragam hias ini menggmbarkan biji buah kawung/ buah aren yang tersusun diagonal dua arah. Susunan biji-bijian tersebut sangat rapi yaitu empat buah bentuk oval yang tersusun dalam sebuah lingkaran, pada masa Hindu-Budha motif kawung berasal dari tengkorak seperti yang terdapat dalam arca Ganesha di Blitar namun pada masa Islam motif kawung mengalami pergeseran dalam interpretasi yakni berasal dari buah aren atau kolang-kaling yang memberikan makna eling (ingat). Dalam analisis yang lain corak batik kawung pada intinya terpusat ditengah yang kemudian terpencar ke segala arah penjuru arah mata angin (utara, selatan, barat, timur) hal ini mengingatkan kita pada keyakinan masyarakat Jawa atas pemahaman falsafah Jawa “sedulur papat limo pancer” atau “keblat papat limo pancer” yang mendominasi alam pikir masyarakat Jawa dan juga berkaitan dengan paham seorang penguasa sebagai poros yang terletak di pusat bumi, dihubungkan oleh titik-titik ke utara, selatan, timur dan barat yang menguatkan keterpusatan penguasa . Onggal Sihite dalam tesisnya menjelaskan bahwa motif kawung merupakan penggambaran dari daun kelapa yang bentuknya di distorsi dan disusun silang, yang menggambarkan struktur dari jagad raya, pusat persilangannya merupakan sumber energi, dan miniatur dari jagad raya adalah kerajaan dan wakil Tuhan sebagai penguasa jagad raya adalah raja atau sultan selaku penguasa dan wakil Tuhan di muka bumi dalam artian wilayah Kraton. Motif semen melambangkan kekuatan, sumber dari segala keberadaan dan pusat kekuasaan . Tentu dalam hal ini raja dan Kraton adalah satu kesatuan kosmis yang tak terpisahkan dalam penggambaran ini. Semen berasal dari kata semi yang artinya tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari hidup dan gerak, dalam kehidupan flora diidentikkan dengan daun. Ragam hias semen pada batik adalah ragam hias yang mengandung gambar meru atau gunung beserta flora dan fauna yang hidup disekitarnya. Nama lengkap motif ini adala semen rama yang ada kaitannya dengan wejangan keutamaan Ramawijaya kepada Wibisana ketika dinobatkan menjadi raja di negara Ngalengka yang disebut dengan Asthabrata . Asthabrata merupakan ajaran keutamaan yang mencerminkan ekspresi budaya Jawa, pandangan tersebut mengandung wacana falsafah tentang potret seorang pemimpin yang bijaksana yang mementingkan kepentingan jagat (negara) diatas kepentingan pribadi simbolisme ini mempunyai ajaran tentang sikap ideal seorang pemimpin/ raja yang kemudian dilukiskan ke dalam betik jenis semen yang menggunakan 9 (8 + 1) moif utama . Tabel 5. (kesesuaian ornamen pada batik semen rama dengan ajaran asthabrata) Ornamen Meru Yama Brata (menghukum yang salah dengan memelihara keadilan) Ornamen Lidah api Agni Brata (kesaktian untu membertantas musuh) Ornamen Baito/ Kapal laut Pasa Brata/ Baruna Brata (berhati lapang seperti lautan tetapi berbahaya bagi yang mengabaikan) Ornamen Burung Bayu Brata/ Anila Brata (watak luhur yang tidak nampak karena tidak ditonjolkan) Ornamen Garuda Surya Brata (mempunyai sifat tabah) Ornamen Pusaka Dhanaba Brata/ Kuwera Brata (berwatak sentosa dan berusaha memberikan kemakmuran pada bawahannya) Ornamen Dampar/ Tahta Astha Brata (Raja) Ornamen Binatang darat Sasi Brata (bersifat menggembirakan dunia dan memberi hadiah pada yang berjasa) Ornamen Pohon Hayat Endra Brata (pemberi kemakmuran dan pelindung dunia dengan pemberian hujan, memlihara kehidupan di dunia) Keindahan yang ditemukan pada motif batik klasik melalui panca indra adalah bagian dari keindahan visual, disamping itu juga terdapat pula keindahan yang berhubungan dengan nilai kesakralan budaya. Melalui simbol-simbol inilah nilai sakral suatu produk budaya dimanifestasikan dalam unsur kepercayaan dan keyakinan masyarakat pendukung budaya tersebut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII nilai-nilai keseragaman, kewibawaan dan kebesaran Kraton dijunjung tinggi dan karena kemajuan dunia perbatikan dan terjadinya kemerosotan kewibawaan atas menyempitnya aspek politik dan ekonomi kasultanan atas kuasa pemerintahan Hindia-Belanda lahirlah peraturan penggunaan busana keprabon sebagai revisi dari pranatan sebelumnya untuk tetap menjaga eksistensi dan legalitas Kraton, yang disebut Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, tahun 1927. Peraturan tersebut berisikan tentang pemakaian busana keparbon dan larangan terhadap penggunaan motif-motif tradisional tertentu. Melalui busana yang diapakai, perlengkapan kain batik dan motifnya inilah dapat diketahui kedudukan seseorang/ status seseorang dalam sebuah sistem sosial. 2. Membatik (batik tradisi/ batik tulis) bagi masyarakat Yogyakarta memiliki kandungan ruhani melalui olah batin. Aspek rasa sangat berpera dalam menentukan nilai sakral dari batik itu sendiri karena rasa (Rahsa : Ruh Hyang Esa) merupakan bagian dari ajaran kawula-gusti, hubungan manusia diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol melalui petunjuk yang diperoleh dari olah batin tersebut, dengan keyakinan yang demikian itu dengan pewarna yang terekam pula pada sisi dibaliknya memberi harapan baik jika lambang-lambang tersebut langsung bersentuhan dengan badan (wadag) si pemakai dengan memberikan harapan atau pesan religi bagi si pemakai dengan memancarkan cahaya kesucian dalam bentuknya sebagai bebet atau tapih, kampuh atau dodot, semekan atau kemben, selendhang, destar atau udeng dan sarung yang digunakan dalam berbagai upacara tradisional. B. SARAN Terselesaikannya karya tulis ini bukan berarti seni batik Yogyakarta secara keilmuan telah dapat terjelaskan semuanya secara konprehensif, melalui tulisan ini diharapkan untuk dilanjutkan penulisan yang berorientasi pada : 1. Kajian batik yang berorientasi pada kajian simbolik pada motif batik secara lebih mendalam melalui ajaran-ajaran klasik pada masa itu yang sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat Jawa (konsep historical mindedness) 2. Kajian melalui pendekatan pola kepribadian seorang pemimpin secara psikologi (psychohistory) melalui konsep sejarah mentalitas (IQ, EQ, dan SQ), yang dari hal itu dapat diketahui latar belakang secara historis alasan kebijakan yang dikeluarkan oleh sultan yang mempengaruhi masyarakat Yogyakarta masa itu. _üØÑw)_búøëº___!€_‹_~_´í€B_SÀ¦ê_C’ƒ_Ûô–ùªúÆ_Ä_H_°_@`_€`āR___ !&¿_˜_À:å#¥å††”QXОeÈ__Ã_¢ kèÄà5lM_å«_«Î_ü__(_ø˜__°_† ¢ŠÃX_¼R_þr5ôP_ _R_Z_Œ°_€Y’L&”ŒL(4j@ÇI1^_á(_ûíßïª_v_˜_ð_`:_ˆ_¤0ÒÓÉ '_‰Htÿ€l__p_@ÁA™_‘†ì[__]X __4_?& §r¶_WéÝc_ÈNK¾Ý;°üe h_Jwì+g7éd-_2¿>_Ø1__Å$1__Vï™ú_7OÏ׸ó÷Ú _T_W€¢K@Î3_o÷èÿ!÷_þ_g2_6BVû!___Ü÷[URŸ“ü‘ÒŽà":dÍù[p¡Ò_¤u€`_Û¨ÿa+W€¬úʁ’HhCºƒ_UþœÃ_ü|åUó_É_êOtÀ___ _ùN_BL:¯!´è!†+§Ÿ" ¤$å%Âî¤__y©ü]Ç_Á_ú­¾__ǺêÞ‚¶´¿V__@;!¤_à_€___É@_“CC@©(’Y0_Ø®_n=_†††'ãF1Þí€__„D_èšÁ¤Ïœ¦$7ã;+•Øuâ€_ÀL_ð”B_Ø_¡¸˜_xKÈ- 8bo(j?êÏЏ—Ž•$____°_ P4a4˜‚œ¶NBqyö^Î¥ŸÌ„„ý•ÊçZ$®éO5šû`_@__XM__¨ß•361¸•t€ª_Qd¬‡Ê_¨£o,_VC_Ð0__0È(4¼X_ãX¯–j¿_:êà_ 4½öAêç©ŽäzÃI˜—öã½nsÚ€__6__Éۍÿuž(_Wš_|Bdìxþ,_[€__ƒ2òöÎaâ_r€A‚v0güÿ>_–_…_FÒ?¿¼_¶Û`ó_‚_¾_œÅwÍü¥(ÿKWÈ•QÇg™»€ÎŽ?ÊêñSµØ_T¨Ê£6ÌÖY¦P¹&_=mû‡A_QNúˆÝpË ô_u®6?Ce_jº[½±ðj6£Êoïx_ð_p_È@1!`2WaˆC£ïÔø~Ýï`_ _€^____úrhhgHnù_àŽ‚Êÿ¿ÿmÛŠ÷‚,§^_¬_…$“‘Äçǹ_v¤Ð__Öyâ_ìP_RYð_¯º_P_ó€À_,Ñ‰_gîæöùÇsª__“8i__j`_îÝ”_‡=Í@b__é̾îvÀpx_äÁ¡€Uñÿ$­__²_Ý~Íó¨ážý0_ð__@_€œ___ €+J958ô__²øQÂþº_¨___˜ Ò_ _2_`_ø™À4_ÐÃŽØš_™–Ÿ†_È_pËà _€_Ð_ùDÒ__4_‡7`_–_øu€0_¹_7&d ná¨ý_Ö?€¶Ù_â_6ÇþáÎ؍RBxQ:ï_H_‹€›_˜¡ƒ_НÙÙŸ_ůˆÞò` _2_,4bÃP_ólf5‰õ P˜_€v€ùEñß•PUÍ&_°`Æ$ƒÔ“éO-=úìÃ_‘€Yn’`!__s_È•@_@_$4_á_˜VbÀ5& _[›°jX´€ˆ¡©_¹)@!_† _‰#zò_e_`_¡`;/>_1_°Ü,5;¶ÂÙ@#²HfOGæ!+__*ügâ_‰

Tidak ada komentar:

Posting Komentar