Minggu, 08 Januari 2012

ARTEFAK IKONOGRAFIS MASA HINDU-BUDDHA: SIMBOL SUCI PERANGKAT RITUS KEAGAMAAN

Abstrak: Arca dan relief merupakan perangkat ikonografis masa Hindu Buddha yang berwujud simbol suci. Fungsi utamanya adalah sebagai media komunikasi vertikal, yakni antara manusia dan dewata yang dipujanya. Sebagai suatu simbol suci, arca dan relief bisa menjangkau aspek-aspek dari kenyataan terdalam, yang tak bisa dijangkau dengan alat pe-ngenalan lain. Simbol suci menjadi cendela pembuka pandangan terhadap dunia transeden atau menjadi ungkapan duniawi atas realitas yang transedental. Lewat simbol suci, unsur-unsur gaib dari dunia gaib menjadi tampak nyata dalam arena upacara. Dengan perkataan lain menjadi perpanjangan dari penampakan Yang Illahi. Sebagai perwujudan simbolik, arca dan relief penuh dengan muatan yang berupa sistem nilai, emosi, perasaan, dan berkenaan pula dengan hal yang hakiki dalam kehidupan. Untuk mengenali makna religiusnya, diperlukan kesanggupan dan kemampuan guna memahami kebudayaan bersangkutan, utamanya pemahaman terhadap struktur upacara.
Kata kunci: Artefak, Ikonografi, Simbol, Ritus Keagamaan.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek, yaitu: (1) tempat upacara keagamaan dilakukan, (2) saat upacara keagamaan dijalankan, (3) benda-benda dan alat upacara, serta (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara (Koentjaraningrat, 1990:378). Benda dan perangkat upacara adalah sarana dan peralatan yang dipergunakan dalam ritus dan upacara religi. Sarana upacara berupa tempat untuk melakasanakan pemujaan, yang berupa bangunan dengan fungsi yang khusus untuk suatu perbuatan sakral. Adapun peralatan upacara adalah benda-benda yang dipakai dalam upacara, yang antara lain berupa patung-patung yang melambangkan dewa-dewa atau roh nenek-moyang, alat bunyi-bunyian sakral (seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci), pakaian yang dikenakan pelaku upacara, wadah untuk tempat sajian, dan sebagainya.
Dalam bukunya yang lain, Koentjaraningrat (1987:80) menyatakan bahwa peralatan ritus dan upacara merupakan salah satu di antara lima komponen religi. Komponen-komponen yang lain adalah emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, serta umat agama. Alat upacara bukan saja penting dalam ritus keagamaan, namun penting pula dalam ritus magi. Menurut R. Firth (1964:173-5), dalam ritus magi terdapat tiga hal yang esensial, yaitu: (1) alat yang bersifat teknis, non-teknis, ataupun obat-obatan; (2) upacara, dengan maksud untuk menghubungkan magi dan tujuan; serta (3) mantra-mantra.
Paparan di atas menggambarkan bahwa perangkat ritus dan upacara adalah salah satu komponen yang integral dalam sistem religi, dan seka-ligus merupakan satu hal yang esensial dalam ritus magi. Sebagai perangkat dalam kegiatan peribadatan, perangkat ritus dan upacara dipandang sebagai benda yang suci atau keramat. Dianggap suci karena bersifat khusus dan templum, dalam arti tidak boleh digunakan sembarangan, kecuali bagi keperluan atau tujuan keagamaan.
ARCA DAN RELIEF CANDI SEBAGAI PERANGKAT RITUS KEAGAMAAN
Salah satu bentuk perangkat ritus dan upacara keagamaan adalah patung. Berdasarkan bentuknya, ada patung yang dipahat dua dimensi dan ada pula yang tiga dimensi (sculpture on round). Untuk patung dua dimensi, penggambarannya dapat berupa relief kategori relief tebal (hout relief). De-ngan demikian, relief juga digunakan sebagai media dalam upacara keagamaan. Sebenarnya, bukan hanya relief yang melambangkan dewa-dewa saja yang berfungsi sebagai perangkat upacara keagamaan, namun termasuk juga relief lain yang dipandang suci dan berfungsi sebagai media katarsis (persucian jiwa) dan penghubung antara pemuja dan Yang Dipuja. Atau dengan perkataan lain, secara religis relief dipergunakan sebagai media pemujaan atau penghormatan kepada Dyat Yang Adi Kodrati.

Arca dan relief termasuk dalam cakupan arti istilah “ikonografi”. Secara harfiah istilah “iconography” berarti ilmu tentang arca (Echols dan Shadily, 1984: 309). Ratnaesih Maulana (1984:1) mendefinisikan ikonografi sebagai pemerian suatu benda yang menggambarkan tokoh dewa atau seorang keramat dalam bentuk lukisan, relief atau mozaik, yang khusus dimaksudkan untuk dipuja, atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara-upacara keagamaan yang berkenaan dengan pemujaan dewa-dewa atau orang suci tertentu.
Penekanan arti pada “penggambaran” tersebut sesuai dengan arti kata “icon (ikon)”–berasal dari bahasa Latin “eikon”, yang berarti gambar, bayangan, atau potret. Menurut Banerjaa (1974:1) kata “eikon” paralel dengan istilah Sanskreta “arca, bera, vigraha, dan sebaginya”, yaitu representasi yang sesuai bagi dewa yang dipuja oleh pemuja (bhakta). Istilah-istilah Sanskreta tersebut mengandung arti perwujudan jasmani dari dewa yang dipuja oleh para bhakta. Pemberian wujud jasmani itu dimaksudkan agar lebih mengarah kepada hal nyata. Untuk itu maka dewa yang bersangkutan dirupakan sebagai tanu atau rupa, artinya badan dewa yang digambarkan (Maulana, 1984:1).
Fungsi utama arca adalah sebagai perangkat ritus dan upacara religi dalam rangka komunikasi vertikal antara manusia (pemuja, bhakta) dan Dewata, orang keramat atau hal lain yang disucikan. Soetjipto Wirjosoeparto (1956:6) juga menekankan fungsi arca yang demikian, sebaimana tergambar dalam definisinya mengenai seni arca. Menurutnya seni arca berkenaan de-ngan penciptaan aca dewa yang dipergunakan untuk mengadakan hubungan dengan dewa-dewa. Fungsi yang demikian berlaku pula pada seni lukis yang menghiasi tembok-tembok rumah perdewaan dengan cerita dewata. Yang dimaksud dengan “seni lukis” dalam konteks ini adalah pahatan pada din-ding rumah peribadatan, yang dikenal pula dengan sebutan “relief”. Tegasnya, bukan hanya arca yang dipergunakan sebagai media komunikasi vertik-al, namun termasuk seni lukis dan seni pahat yang berbentuk relief. Persamaan mengenai fungsi arca dan relief yang demikian itu dapat difahami, karena menurut Linda Murray dan Peter (dalam Sumarahwa-hyudi 1993/94:1) istilah “seni patung” berarti seni untuk menciptakan bentuk tiga dimesional atau dalam bentuk relief.
Apakah semua pemujaan dalam religi mempergunakan arca atau relief sebagai media upacaranya? Kendatipun dalam agama Hindu maupun Buddha arca dan relief merupakan media yang penting untuk hubungan vertikal, namun bukan berarti bahwa setiap ritus dan upacara keagamaan memakai arca dan relief. Dalam kaitan itu, Hariani Santiko (1995:25) menyatakan bahwa arca hanya dipakai sebagai perangkat upacara pada puja luar (bhahyapuja). Sedangkan untuk puja dalam (antarpuja). orang tidak perlu menggunakan arca atau relief sebagai medianya. Pemujaan dengan memakai patung sebagai media upacara termasuk dalam kategori “arcana”, artinya pemujaan arca atau simbol kedewaan (Goris, 1974:13-4). Dalam kitab Bhuwanakosa misalnya, dinyatakan bahwa puja luar merupakan upacara agama yang dilakukan dengan menggunakan patung. Perilaku keagamaan yang demikian dipandang paling rendah nilainya. Peringkat di atasnya adalah mudra, mantra, kutamantra dan pranawa. Bagi mereka yang telah tinggi tataran pengetahuan sucinya, semisal kaum rsi, pemujaan kepada dewata cukup dilakukan di dalam pikirannya (manasa atau antarpuja), sehingga tidak lagi memerlukan arca atau benda- benda lainnya sebagai sarana pemujaan (Santiko, 1995:21-25).
ARCA DAN RELIEF CANDI SEBAGAI SIMBOL SUCI
Arca dan relief adalah karya seni yang merupakan bentuk atau ekspresi simbolik. Sebagai suatu simbol, arca dan relief merupakan bentuk yang konkrit, yang merupakan pembabaran dari ide yang lahir karena adanya aktifitas jasmani. Sebagai lambang kehidupan batin penciptanya, arca ataupun relief melambangkan visi yang dikehendakinya (Bruyne, 1977:49-52, 190). Oleh karena itu dapat dimengerti bila arca dan relief [yang merupakan perwujudan simbolik itu] berkenaan dengan dunia transedental (= supra sensual). Bagi manusia, simbol memiliki arti penting dalam kehidupan. Manusia tak mampu mendekati Yang Kudus secara langsung. Untuk itulah maka diciptakan simbol (Susanto, 1987:61), dengan maksud untuk dapat mendekati-Nya secara tidak langsung.
Berkenaan dengan aspek transedental dari simbol, Mircia Elliade (dalam Daeng, 1991:16-7) menyatakan bahwa simbol mengungkapkan aspek-aspek terdalam dari kenyataan yang tidak terjangkau oleh alat pe-ngenalan lain. Simbol ibarat cendela yang membuka pandangan terhadap dunia transenden menuju ke kekuasaan yang ada di atas, atau yang berada di luar diri manusia (Peursen, 1985:42). Dalam religi penciptaan dan penggunaan simbol dimasudkan sebagai media komunikasi religius lahir-batin (Bakker, 1978:117).
Terdapat adanya hubungan antara simbol dan religi. Upaya pe-nghadiran kembali pengalaman keagamaan dalam bentuk kultus me-rupakan tindakan yang simbolis. Dalam hal ini simbol merupakan perwujudan dari makna religius, dan sekaligus menjadi sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius. Dalam upaya untuk berelasi dengan Illahinya, manusia me-ngungkapkan lewat bentuk-bentuk yang simbolis. Berkait dengan itu, Eliade (dalam Dhavamony, 1995:167) menyatakan bahwa simbol dipergunakan untuk memberi kemungkinan “suatu perpanjangan dari penampakan Yang Illahi”. Oleh karenanya ritual acapkali dinyatakan sebagai tatanan atas simbol-simbol yang diobjektifikasikan.
Simbol dapat berperan sebagai pengungkap perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi para pemujanya sesuai dengan modelnya masing-masing (Dhavamony, 1995:174). Karenanya cukup alasan untuk menyatakan bahwa simbol merupakan bagian dari dunia makna yang manusiawi. Di antara sistem reseptor dan efektor yang terdapat pada semua spesies binatang, pada manusia terdapat mata rantai ketiga, yang disebut sebagai “sistem simbolik”. Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian dari dunia simbolik. Kesemuanya menyusun jaring-jaring simbolis, membentuk tali-temali rumit dalam pengalaman hidup manusia. Dalam hal demikian, ada kecenderungan dalam diri manusia untuk menciptakan dan menggunakan simbol.
Ernast Cassirer menyebut manusia sebagai “animal symbolicum (hewan bersimbol)”. Sementara Eliade menyebut sebagai “homo symbolicus”, artinya makhluk yang mengerti dan membentuk simbol. Hal yang demikian terbukti di dalam kehidupannya sehari-hari. Manusia berfikir, berperasaan, bersikap dan bertingkah laku dengan ungkapan yang simbolis. Atau dengan perkataan lain, manusia tidak hidup dalam dunia material semata, melainkan juga dalam dunia spiritual dan dunia simbolik. Dalam diri manusia terdapat sistem simbolik. Untuk mengungkap makna hidup manusia memakai simbol atau tanda. Pemikiran dan tindakan simbolik adalah khas insani, Bahkan, seluruh kemajuan kebudayaan mendasarkan kepada kondisi-kondisi itu (Cas-sirer, 1987: 38-41).
Hubungan yang erat antara manusia dan simbol merupakan alasan tepat untuk menyatakan bahwa kebutuhan manusia yang benar-benar tidak dapat ditinggalkan adalah kebutuhan akan simbol. Aktifitas membuat simbol adalah hal primer dalam diri manusia. Berkait itu, Susanne K. Langer (dalam Rahmanto, 1992:160) menyatakan bahwa menciptakan simbol merupakan proses berfikir yang fundamental, yang berlangsung dalam diri manusia sepanjang masa. Sementara, Cliford Geertz (1973:452) menyatakan bahwa kebudayaan adalah seperangkat teks simbolik. Dikatakan demikian karena simbol terpancar dalam berbagai aspek budaya manusia, tak terkecuali dalam dunia kesenian.
Berkenaan dengan simbol dalam kesenian, Susanne K. Langer (dalam Pratedja, 1983:74) mendifisikan seni sebagai bentuk simbolis dari perasaan manusia. Apabila ditilik dari “Teori Signifikasi (Significa-tion Theory)”, seni adalah lambang atau tanda dari perasaan manusia. Karya seni merupakan tanda serupa (iconic sign) dari proses psikologis yang berlangsung di dalam diri manusia, khususnya tanda perasaannya (Gie, 1983:78). Jika demikian, sebagai karya seni, arca dan relief adalah bentuk simbolis yang menjadi lambang perasaan manusia dalam hubungannya dengan perasaan keagamaannya.
Pada masyarakat yang religius, simbol dipandang sebagai ungkapan indrawi atas realitas yang transenden (ENI, 1991:49). Yang membuat sistem religus adalah rangkaian dari simbol-simbol sakral, yang jalin-menjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur (Geertz, 1992:53). Sebagai simbol, seni keagamaan (religius art) merupakan lambang bagi penciptaannya akan Dunia Illahi. Seni simbolik merupakan manifestasi langsung, yang bertumpu pada penghayatan akan hakekat jiwa dan jasmani sebagai suatu keseluruhan. Meski demikian, aspek-aspek simbolik tersebut tidak musti terbabar secara spontan, dalam arti aspek yang satu kadang lebih ditonjolkan daripada aspek-aspek yang lain, bergantung kepada jenis-jenis aspek pada saat kehadirannya dan siapa penciptanya (Bruynne, 1977:49-52). Karya seni keagamaan dengan demikian merupakan media komunikasi antara seniman dengan orang lain, atau bahkan dengan Illahinya.
Dalam religi terdapat apa yang dinamakan dengan “simbol suci”. Ciri-ciri simbol suci adalah sebagai berikut: (a) muatannya penuh dengan sistem-sistem nilai baik apabila dibandingkan dengan simbol biasa, (b) penuh de-ngan muatan emosi dan perasaan, serta (c) berkenaan dengan masalah yang paling hakiki. Arca dan relief sebagai perangkat religi termasuk dalam kategori simbol suci, yang dipakai untuk komunikasi simbolik dengan “Penghuni Dunia Atas”. Dalam suatu ritus, simbol suci digunakan untuk kepentingan komunikasi antar pelaku upacara, antara manusia dan benda, antara dunia nyata dan dunia gaib. Lewat simbol suci, unsur-unsur gaib dari dunia gaib akan tampak nyata dalam arena upacara (Suparlan, 1981/82:12-3). Simbol suci menyuarakan pesan-pesan keagamaan yang berkenaan dengan etos atau pandangan hidup sesuai dengan keinginan pelaku upacara. Simbol suci merupakan garis penghubung antara fikiran manusia dan kenyataan yang terletak di luar (Geertz, 1992:362). Oleh karena itu, pemikian manusia dapat dilihat sebagai lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang sinifikan, termasuk hubungan antara manusia dan Illahinya.
RUJUKAN BAGI PEMAKNAAN REPRESENTASI IKONOGRTAFIS
Sumber pengertian simbol adalah pada kebudayaan bersangkutan, sebab simbol merupakan sesuatu yang ditempeli arti tertentu menurut kebudayaan masyarakat pemangkunya. Oleh karenanya, tanpa pemahaman akan budaya bersangkutan tidak mungkin seseorang dapat memahami makna suatu simbol (Suparlan, 1980/81:241, 1981/82:4-5, 8). Dalam setiap kebudayaan berbagai simbol cenderung dibuat dan dimengerti oleh warganya berdasarkan konsep-konsep yang memiliki arti tetap dalam kurun waktu tertentu. Untuk itu, dalam memakai simbol pada umumnya orang melakukan berdasarkan aturan, baik untuk membentuk dan mengkombinasikan berbagai simbol maupun untuk menginterpretasikan simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya (Suparlan, 1980/81:241). Dalam Antropologi, pengetahuan tentang simbol dinamakan “kode kebudayaan”.
Arca dan relief merupakan tanda (sign), baik yang ikonik ataupun yang simbolik, yang diposisikan sebagai perangkat ritus dan upacara keagamaan. Sebagai tanda, arca dan relief memiliki makna, yang dalam hal ini adalah makna ikonik ataupun makna simbolik. Sumber untuk memaknainya semestinya diambil dari budaya masyarakat pe-mangkunya. Dengan perkataan lain, pengungkapan makna religis dari arca dan relief mustilah dilakukan secara kontekstual, sesuai dengan konteks ruang dan waktunya, sesuai dengan konteks budaya padamana artefak ikonografis itu berada. Sebagai teks simbolik, “pembacaan” terhadap makna religis arca dan relief memerlukan ke-sanggupan dan kemampuan dari si pengungkap makna dengan berpedoman kepada struktur upacara yang bersifat kognitif, metaforik, muatan pesan dan model keteraturan sosial yang ada di dalamnya (Suparlan, 1982).
Dalam hal pengungkapan makna artefak masa lampau yang berupa arca dan relief sebagai ikon atau simbol suci, selain mendasarkan pada kebudayaan masyarakat pemangkunya, perlu pula mengkorelasikan dengan lingkungan fisis-alamiah sekitarnya, sebab terdapat kaitan antara kebudayaan dan lingkungan. Dalam hubungan itu Heriyanti Untoro Dradjat (1986:19) menyatakan bahwa untuk merekonstruksi kehidupan manusia pada masa lampau perlu untuk memperhatikan aspek ekologi, agar mengerti dangan jelas konteks lingkungan masa lalu dari artefak bersangkutan. Integrasi data arkeologi dan data ekologi perlu untuk dilakukan, sebab dengan cara demikian akan menimbulkan berbagai alternasi bagi penarikan simpulan penelitian tentang manusia masa lalu. Jadi, perlu ditelusuri hubungan antara kegiatan [budaya] manusia dan lingkungan alamnya. Hal yang penting untuk dilakukan adalah memperhatikan komponen-komponen alam di sekeliling situs (Mudardjito, 1982: 89). Dasar pemikirannya adalah bahwa situs meru-pakan bagian dari bentang alam yang pembentukan dan fungsinya dapat tercermin dari situs itu sendiri dengan bentang alam di sekelilingnya (Dradjat, 1986:21).
Sebagai tanda (sign), disamping berupa simbol, terdapat arca dan relief candi yang berupa ikon (icon) dan indeks (index) (Spradley, 1972:14-5). Suatu tanda dikategorikan sebagai ikon apabila yang ditandai (referent) dan yang menandai (sign) memiliki kesamaan ben-tuk. Dikatakan sebagai indeks bila yang menandai merupakan “perpanjangan” dari yang ditandai. Sedangkan dikatakan sebagai simbol bila antara yang ditandai dan yang menandai samasekali tidak memiliki keterkaitan atau persamaan dalam bentuk (Suprapta, 1996:40-1). Perbedaan ketiganya membedakan tentang cara pe-ngungkapan maknanya. Untuk itulah maka hal pertama yang perlu untuk dilakukan oleh peneliti adalah mengkategorisasikan arca dan relief tersebut, apakah termasuk kategori ikon, indek ataukah simbol.
DAFTAR RUJUKAN
Bakker S.J., J.W.M., 1978, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, BPK. Gunung Mulia.
Bruyne, Edgar, 1977, Filsafat Seni. Terjemahan: Soekadarman. Malang: Sub-Proyek Penulisan Buku Pelajaran. P3T IKIP Malang.
Cassirer, Ernast, 1987, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei tentang Manusia. Terjemahan: Alosius A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.
Daeng, Hans, 1991, “Manusia, Mitos dan Simbol,” Majalah Basis Januari No. 1 Tahun XL.
Dhavamony, Mariasusai, 1995, Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Ka-nisius.
Drajad, Heriayanti Untoro, 1986, ”Asoek Ekologi dalam Penelitian Arkeologi, ”Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Cipanas 3-9 Maret 1986. Jakarta; Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta, Depdik-bud.
Echols, John M dan Shadaly, Hasan, 1984, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Ensiklopedia Nasional Indonesia (ENI), 1991.
Fith, R (ea), Tjiri-Tjiri Alam dan Alam Hidup Manusia, Suatu Pengantar Antropologi Budaya. Bandung: Sumur Bandung.
Geertz, Cliford, 1973, The Interpretation of Culture. New York: Basic.
Goris, R., 1974, Sekte-sekte di Bali. Terjemahan: ny. P.S. Kusumo Sutojo. Jakarta: Bhratara.
Koentjaraningrat, 1985, Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Maulana, Ratnaesih, 1984, Ikonografi Hindu. Jakarta: FS–UI.
Mundardjito, 1981, Etnografi, Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia,” Majalah Arkeologi Th. IV No. 1-2.
Peursen, C.A. van, 1975, Strategi Kebuadayaan. Jakarta: Kanisius.
Santiko, Hariani, 1995, Seni Bangun Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia (Abad VIII-XV Masehi): Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik,” Naskah Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Madya Tetap pada Fakultas Sastra UI tanggal 9 Desember 1995.
Spradly, James P, 1972, “Foundation of Cultural Knoledge,” Cultural and Cognition. San Francisco: Chandler.
Sumarahwahyudi (ea), 1993/94, Pengetahuan Dasar Seni Patung. Malang: Proyek OPF IKIP Malang.
Suparlan, Parsudi, 1980/81, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian Antropologi,” Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Jilid X No. 1 Juni 1980/81.
Suprapta, Blasius, 1996, “Lukisan Dinding Gua di Daerah Pangkep: Suatu Kajian Makna Lukisan,” Tesis Magister Arkeologi. Depok: Universitas Indonesia.
Susanto, P.S. Hary, 1987, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Alide. Yogyakarta: Kanisius.
Wirjosoeparto, Soetjipto, Sedjarah Seni Artja India. Djakarta/Jogjakarta: Kalimasodo.
_________, 1981/82, “Struktur Sosial, Agama dan Upacara: Geertz, Hertz, Cunningham, Tunner dan Levi-Strauss,” Ilmu Sosial Dasar I. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang, Depdikbud.
_________, 1987, Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
_________, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar